SEBUTAN itu, terus terang, terasa mengganggu: Saksi ahli yang meringankan. Tidak hanya masyarakat awam, sebagian kalangan pers dari media arus utama pun keliru dalam menggunakan istilah. Begitu pula praktisi hukum.
Konsekuensinya, bertebaran pandangan apriori tanpa substansi dari khalayak luas. Pandangan apriori itu adalah si saksi ahli meringankan pasti dibayar terdakwa. Si saksi ahli meringankan pasti menguntungkan terdakwa dan merugikan jaksa.
Saya mencoba luruskan tiga hal saja. Pertama, sebutan yang berlaku adalah ‘ahli’. Titik. Tanpa embel-embel ‘saksi’.
Saksi dan ahli beda kedudukan dan beda misi. Saksi melihat, mendengar, membaui, dan mengalami langsung. Saksi merupakan bagian inheren dengan peristiwa pidana yang tengah disidang.
Baca juga: Nestapa Teddy Minahasa: Jaksa Tolak Pleidoinya dan Minta Hakim Vonis Hukuman Mati
Ahli berada di luar situasi tersebut. Ahli tidak berada di tempat kejadian perkara. Namun berkat khazanah keilmuan yang dimilikinya, ahli dihadirkan guna ditanyai perspektifnya tentang peristiwa pidana dimaksud.
Kedua, ahli dibayar. Hal itu tidak salah. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) memuat ketentuan bahwa ahli berhak mendapat penggantian biaya (Pasal 229 ayat 1). Besarannya tidak ditentukan. Belum ada aturan main yang mengatur standar tentang hal tersebut.
Jadi, penggantian biaya ahli bisa beragam, mulai dari nol rupiah hingga tanpa batas. Bisa berupa fulus, bisa pula berbentuk ucapan terima kasih tulus.
Ketiga, keberpihakan ahli. Mengapa ahli dihadirkan? Karena kejadian pidana dinilai pelik. Tidak cukup ditinjau dari kacamata ilmu hukum semata. Betapa pun ahli dihadirkan oleh, misalnya, penasehat hukum, bukan berarti dia lantas membabi buta menjadi pembela terdakwa.
Begitu pula manakala ahli didatangkan jaksa, tetap saja ahli tidak beralih paras sebagai algojo terhadap terdakwa. Tugas ahli “enteng-enteng” saja: jawab pertanyaan sesuai pengetahuannya. Kalau tidak tahu, jawab saja tidak tahu. Beres.
Kendati itu bisa saja mendatangkan perasaan risau, karena ketidaktahuan membuat kredibilitas ahli dipertaruhkan.
Pengalaman saya sebagai ahli masih amat-sangat terbatas. Dari keterbatasan itu, saya melalui pelajaran penting, yaitu bahwa yang paling membebani bukan tuntutan untuk dapat menghidangkan perspektif keilmuan kepada pihak yang bertanya di ruang sidang.
Gangguan terbesar di hati adalah membebaskan diri dari “keharusan” untuk menguntungkan pihak yang mendatangkan atau mengundang saya ke persidangan. Begitu perasaan bebas itu berhasil dimunculkan, langkah masuk ke ruang sidang menjadi lebih ringan. Sembilan puluh persen beban mental seketika hilang.
Baca juga: Jaksa Dinilai Tak Mampu Membuktikan Kasus Narkoba, Pengacara Optimistis Teddy Minahasa Bebas
Sebutan ‘saksi ahli yang meringankan’ semakin tidak tepat ketika dibandingkan keterangan saya di persidangan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus terkait narkoba yang menjerat Teddy Minahasa. Salah satu hal yang ditanyakan di ruang sidang dalam kasus itu adalah ihwal cuplikan chat Whatsapp antara Teddy Minahasa (TM) dan Dody Prawiranegara (DP). Keduanya polisi dan menjadi terdakwa dalam kasus tersebut.
Pada cuplikan chat itu, pesan Teddy yang ketika itu menjadi Kapolda Sumatera Barat berpangkat Inspektur Jenderal berbunyi, kurang lebih, tukar sabu-sabu dengan tawas sebagai bonus bagi anggota. Di bawah pesan itu, terdapat jawaban Dody yang saat itu merupakan Kapolres Bukittinggi berpangkat AKBP. Jawaban Dody adalah ia tidak berani melakukan titah Teddy.