Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Klitih: Pengertian, Sejarah, Penyebab, dan Cara Menghindari Klitih

Kompas.com - 26/03/2023, 16:45 WIB
Nur Rohmi Aida,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

 

Penyebab dan pemicu munculnya aksi klitih

Sosiolog UGM Sunyoto Usman menyampaikan, menurutnya ada beberapa sebab mengapa klitih masih saja terjadi di Yogyakarta.

Di antaranya karena adanya kegagalan masyarakat dalam memberikan kontrol pada pelaku aksi klitih.

Selain itu, penyebab kedua yakni Pemerintah yang kurang intensif dalam melakukan pencegahan.

Sedangkan penyebab ketiga masih munculnya aksi klitih menurutnya yakni peran media sosial yang turut memperluas ruang untuk saling komunikasi antar anggota kelompok klitih.

Sejarah klitih di Yogyakarta

Sejarah klitih bisa dirunut sejak tahun 1990-an. Dikutip dari Kompas.com (6/4/2022) sebelumnya aksi kriminal yang melibatkan remaja marak terjadi sejak tahun 1990-an.

Pada saat itu para remaja tergabung ddalam geng remaja dan melakukan aksi kriminal dengan cara tawuran.

Selanjutnya pada 7 Juli 1993, Kepolisian Wilayah (Polwil) DIY mulai memetakan keberadaan geng remaja tersebut.

Kapolwil DIY ketika itu yakni Kolonel (Pol) Drs Anwari menyebut pihaknya memiliki informasi terkait keberadaan geng remaja dan kelompok anak muda yang sering melakukan beragam aksi kejahatan di Yogyakarta.

Wali Kota Yogyakarta ketika itu yakni Herry Zudianto sempat mengeluarkan instruksi guna meredam aksi tawuran antar remaja di tahun 2000-an yakni dengan bekerja sama sekolah-sekolah di Yogyakarta.

Instruksi ini meminta jika ada pelajar Yogyakarta yang terlibat tawuran maka akan dikembalikan kepada orangtuanya atau dikeluarkan dari sekolah.

Dari tawuran beralih ke klitih

Meskipun instruksi ini sempat ampuh meredam aksi kekerasan remaja, namun sosiolog kriminalitas UGM Soeprapto menilai, beberapa remaja memang tidak melakukan aksinya lagi. Namun sebagian lain masih melakukannya.

Sejumlah remaja dengan latar belakang keluarga yang kurang kondusif pada akhirnya merasa terkekang dengan instruksi ini dan malah melampiaskan kekecewaannya dengan mengajak remaja lain berkeliling mencari musuh memakai sepeda motor.

“Mulai dari situ, muncul istilah klitih versi mereka sebagai kegiatan mencari musuh,” ujar Soeprapto.

Selanjutnya remaja tersebut berkembang menjadi geng yang terorganisir yang bahkan memiliki ketua, wakil hingga bendahara.

Organisasi ini kemudian berkembang dengan keterlibatan alumni yang berperan mendidik anggota baru. Organisasi mereka terus berkembang hingga kegiatan mereka dimanfaatkan kelompok lain.

Pada akhirnya, klitih yang semula hanya muncul saat tahun ajaran baru, kini bisa terjadi kapanpun karena semakin luas. 

Dampak klitih

Soeprapto menyebut, pelaku aksi klitih memiliki sasaran musuh secara acak.

Umumnya sasaran musuh klitih adalah anak-anak remaja dari sekolah tertentu yang ditunjukkan dari identitas bet yang dipakai.

Aksi klitih di Yogyakarta menurutnya memiliki 'aturan main' ketika menentukan sasaran.

Menurut Soeprapto, pelaku klitih jarang menyerang masyarakat dari kelompok tertentu seperti perempuan, orang tua, dan pemuda-pemudi yang sedang berboncengan. Selain itu, klitih tak akan merampas harta korban.

“Mereka tidak akan menyerang pihak yang kira-kira tidak bisa dijadikan musuh,” ungkapnya.

Sehingga menurutnya setiap aksi kriminal di jalan belum tentu bisa dibilang dan bentuk aksi klitih.

Meskipun memiliki aturan main dalam menentukan sasaran musuh, namun klitih kerap memakan korban jiwa.

"Itu (klitih) memang sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai kenakalan remaja, tetapi sudah merupakan tindakan kriminal," jelas Soeprapto.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com