Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Penentuan Awal Ramadhan dan Lebaran Masih Sering Berbeda?

Kompas.com - 20/03/2023, 19:15 WIB
Diva Lufiana Putri,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Muhammadiyah telah menetapkan 1 Ramadhan 1444 H jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023.

Di sisi lain, pemerintah masih akan menunggu sidang isbat pada Rabu (22/3/2023) untuk menetapkan awal puasa Ramadhan 2023.

Namun demikian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi bahwa awal puasa Ramadhan akan jatuh bersamaan, yakni pada Kamis (23/3/2023).

Meski awal Ramadhan diperkirakan jatuh bersamaan, dikutip dari Kompas.com (1/2/2023), hari raya Idul Fitri diprediksi akan berbeda.

Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada 21 April 2023, sementara kriteria MABIMS yang digunakan pemerintah kemungkinan akan jatuh pada 22 April 2023.

Perbedaan penetapan puasa Ramadhan maupun Lebaran bukan kali ini terjadi. Tahun lalu, Muhammadiyah terlebih dahulu melaksanakan puasa, tetapi Hari Raya dirayakan serentak.

Lantas, mengapa penentuan awal Ramadhan dan Syawal di Indonesia masih sering berbeda?

Baca juga: Puasa Ramadhan 2023 Tanggal Berapa? Ini Menurut Muhammadiyah dan Pemerintah, serta Prediksi BRIN


Perbedaan kriteria

Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaluddin menjelaskan, perbedaan penetapan muncul karena perbedaan kriteria yang digunakan.

"Sumber utama perbedaan karena ada perbedaan kriteria," kata dia, saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/3/2023).

Thomas mengungkapkan, Muhammadiyah menggunakan metode hisab (hitungan), sementara pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan metode rukyat.

Rukyat atau aktivitas melihat penampakan hilal (Bulan sabit) sendiri dilakukan pada hari ke-29 dalam satu bulan di kalender Hijriah.

Menurut dia, rukyat terkadang gagal melihat hilal, sehingga satu bulan digenapkan menjadi 30 hari, dan puasa atau Idul Fitri ditetapkan pada hari berikutnya.

Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama ini menegaskan, bulan pada kalender Hijriah selalu terdiri dari 29 hari atau 30 hari.

"Karena rata-ratanya siklus sinodis atau Bulan baru ke Bulan baru berikutnya 29,53 hari," terang Thomas.

Dia melanjutkan, pengamal rukyat perlu kriteria agar saat melakukan pengamatan tidak keliru. Sebab, hilal sangat tipis dan redup, serta dihadapkan dengan cahaya senja yang masih terang.

Begitu pula pengamal hisab, perlu kriteria agar angka-angka hasil perhitungan bisa dimaknai dalam menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah.

"Hal pokok yang dilakukan pengamal rukyat dan pengamal hisab adalah menentukan batas minimal keberadaan hilal sebagai penanda awal bulan," ujar dia.

Baca juga: Muhammadiyah Tetapkan Awal Ramadhan 23 Maret 2023, Pemerintah Kapan?

Kriteria wujudul hilal

Baik metode hisab maupun rukyat, sama-sama bertujuan menentukan awal bulan dengan hilal sebagai obyeknya.

Namun, menurut Thomas, hilal bukanlah benda, tetapi fenomena ketampakan Bulan dari Bumi.

Pada kriteria wujudul hilal atau WH yang digunakan Muhammadiyah, mensyaratkan Bulan terbenam lebih lambat daripada Matahari, dan ijtimak sudah terjadi sebelum maghrib.

Ijtimak sendiri merupakan saat berakhirnya Bulan lalu dan munculnya Bulan baru dalam penanggalan Hijriah.

"Dari definisi tersebut jelas syarat minimalnya adalah piringan atas Bulan masih berada di atas ufuk (secara hitungan) pada saat maghrib," ungkapnya.

Kriteria wujudul hilal ini termasuk yang paling sederhana dan telah digunakan sejak 1970-an.

"Cukup menggunakan data waktu Bulan terbenam (moonset) dan Matahari terbenam (sunset) serta ijtimak sebelum maghrib, ahli hisab sudah bisa menentukan awal bulan," lanjutnya.

Baca juga: Negara dengan Durasi Puasa Ramadhan 2023 Terpanjang dan Terpendek, Adakah Indonesia?

Kriteria 2-3-8 (kriteria lama MABIMS)

Di sisi lain, ada pula kriteria lama MABIMS alias forum Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Kriteria ini resmi dipakai pada awal 1990-an, dan mensyaratkan batas minimal tinggi Bulan 2 derajat serta elongasi 3 derajat atau umur bulan (sejak ijtimak sampai maghrib) 8 jam.

"Sering juga disebut kriteria 2-3-8. Dalam prakteknya batas ketinggian 2 derajat yang banyak digunakan," tutur Thomas.

Mantan Kepala LAPAN ini mengungkapkan, kriteria 2-3-8 sejak 2010-an banyak dikritisi karena dianggap terlalu rendah.

Pasalnya, hilal pada ketinggian 2 derajat sangatlah tipis, sedangkan cahaya senja masih cukup terang.

Untuk itu, muncullah usulan untuk mengganti kriteria MABIMS ini dengan kriteria lebih tinggi.

Baca juga: Kemenag Tetapkan Puasa Belakangan tapi Ada Kemungkinan Lebaran Bersamaan, Bagaimana Bisa?

Kriteria baru MABIMS

Selanjutnya, Thomas menjelaskan pemerintah menggunakan kriteria baru MABIMS untuk menentukan awal bulan.

Menurut dia, kriteria ini cukup sederhana, hanya mensyaratkan tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.

Batasan itu merujuk data internasional, yakni ketinggian 3 derajat adalah minimal ketinggian hilal yang teramati. Di bawah itu, hilal masih terlalu tipis untuk mengalahkan cahaya senja.

Sementara itu, elongasi minimal 6,4 derajat merujuk rekor ketampakan hilal.

"Kriteria ini bukanlah kriteria terbaik, karena memang tidak ada kriteria yang sempurna. Namun setidaknya, kriteria telah disepakati oleh empat negara, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura," ujarnya.

Walau tidak disebutkan, lanjut Thomas, kriteria baru MABIMS merujuk markaz atau titik rujukan di kawasan ASEAN.

Artinya, kriteria ini selain bisa menjadi dasar pembuatan kalender Hijriah, juga bisa dijadikan pedoman bagi pengamal rukyat.

"Jadi kriteria baru MABIMS ini bisa menjadi titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com