STATUS hutan di Indonesia menarik dan unik. Luas hutan Indonesia 120,3 juta hektar, atau sekitar 60 persen dari luas daratan Indonesia, dan statusnya merupakan hutan negara.
Di daratan Eropa yang pengelolaan hutannya lebih maju, seperti di negara-negara Scandinavia, hutan rakyat (hutan milik) mencapai porsi lebih dari 90 persen dari tutupan hutan total.
Hutan Indonesia yang begitu luas dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung timur Palau Papua itu merupakan hutan negara. Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, menyebut hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Dalam penjelasannya di Pasal 5, yang masuk dalam hutan negara adalah hutan adat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan. Status hutan selain hutan negara adalah hutan hak. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik, lazim disebut hutan rakyat.
Baca juga: Petani Dapatkan Hak Kelola Hutan Negara
Yang menarik adalah status hutan adat sekarang ini. Kenapa? Sejak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan hutan negara, bukan berarti hutan adat otomatis menjadi hutan hak sebagaimana yang tersurat dalam UU Nomor 41 tahun 1999 Pasal 5 ayat (1).
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah (perda). Karena itu, Menteri Kehutanan tahun 2013 mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 1/Menhut II/2013 yang ditujukan kepada gubernur, bupati/wali kota dan kepala dinas kehutanan di seluruh Indonesia yang menegaskan bahwa penetapan kawasan hutan adat tetap berada pada Kementerian Kehutanan.
Surat Edaran tersebut tetap mensyaratkan perda untuk penetapan kawasan hutan adat oleh Menhut (sekarang Menteri LHK). Itu aturan secara tekstual.
Lantas bagaimana posisi dan status hutan adat dalam konstelasi pertanahan maupun kehutanan di Indonesia? Apa hubungannya dengan masyarakat hukum adat (MHA) yang selama ini mengaku dan berhak mengelola hutan adat?
Secara historis, keberadaan hutan adat telah diakui negara sudah lebih dari enam dekade, sejak terbitnya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam penjelasan umum UU tersebut, disebut bahwa berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.
Misalnya di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha), masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Sebaliknya, tidak dapat dibenarkan jika suatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk.
Pernyataan senada juga disebut dalam UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam Pasal 17 disebut bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota- anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam UU ini.
Baca juga: Masyarakat Adat Kawi Minta Pemerintah Kembalikan Hutan Adat
Selanjutnya, masyarakat hukum adat dengan hutan adatnya lebih dipertegas dan diperjelas dalam UU Nomor 41 tahun 1999 dalam Pasal 67 ayat (1-3). Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan perda.
Tahun 2021, DPR menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat. RUU itu telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 sebagai revisi dan penyempurnaan regulasi masyarakat hukum adat yang sebelumnya. Namun, RUU tersebut hingga awal 2023 ini tidak kunjung disahkan DPR dan pemerintah.