Oleh: Zen Wisa Sartre dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Sudah dari lama perempuan menjadi objek dan kehidupannya dibatasi dengan beragam elemen nilai dan moral. Kemudian, peran perempuan seakan hanya menjadi pengurus rumah tangga dan keluarga karena fungsinya yang bisa melahirkan.
Peran tersebut juga dinormalisasi dengan pelbagai kalimat pujian yang seakan perempuan hanya bisa mengurus rumah dan keluarga. Akan tetapi, bukan berarti perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga adalah salah.
Justru sebaliknya, perempuan yang demikian layak mendapatkan penghargaan dan tidak seharusnya dianggap tidak bisa memiliki karier yang cemerlang.
Perempuan yang memiliki karier ini menjadi topik perbincangan Amanda Simandjuntak, Co-Founder Markoding, dalam siniar Obsesif bertajuk “Amanda Simandjuntak: Women & Career in STEM Industry” yang dapat diakses melalui tautan berikut dik.si/ObsesifAmanda.
Lantas, bagaimana caranya perempuan sadar dan kehidupannya tidak lagi dikungkung oleh kebudayaan yang menekan? Salah satu caranya adalah dengan pendidikan. Dengan pendidikan, potensi pengembangan perempuan, baik jasmani maupun rohani, dapat dicapai dan mempersepsikan fenomena sekaligus kehiduapnnya secara lebih bijaksana.
Dari pendidikan tersebut juga perempuan dapat mengembangkan budaya, nilai-nilai, dan norma yang sesuai dengan zaman, lalu mewariskannya kepada generasi penerus. Karena jangan sampai kehidupan kembali menjadikan laki-laki sebagai sentra seakan-akan pewaris tahta dunia dan akhirat.
Baca juga: Mana Lebih Baik: Manajemen Waktu atau Energi?
Kehidupan yang menjadikan perempuan sebagai subordinat laki-laki adalah masalah serius karena adanya relasi sosial yang timpang antara keduanya. Contohnya, perempuan yang hanya mengerjakan urusan rumah, sementara laki-laki dapat mengembangkan kariernya di publik. Tentu, relasi dan pembagian kehidupan ini berpatokan pada sesuatu yang biologis.
Itulah mengapa, kehidupan perempuan yang berusaha keluar dari budaya patriarki harus diperjuangkan. Karena budaya patriarki erat kaitannya dengan ketidakadilan gender perempuan yang dikonstruksi untuk mempersulit kehidupannya, seperti harus mengurus anak atau menggunakan bahasa yang lemah lembut.
Dalam konteks ini, masyarakat tidak boleh merasa tabu bila perempuan pergi ke luar rumah dan baru pulang ketika malam karena mengejar karier di publik. Karena pada dasarnya, bekerja merupakan kegiatan utama untuk memenuhi kebutuhan primer manusia.
Oleh karena itu, di masa sekarang yang tidak lagi menekankan laki–laki sebagai sentra kehidupan, perempuan memiliki hak dan harus mengenyam pendidikan layaknya manusia tanpa harus dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya.
Maka dari itu, sebuah pergerakan feminis ini bukan dan tidak boleh dilakukan dengan tindak kekerasan, melainkan mengidentifikasi akar permasalahan mengapa perempuan diperlakukan sebagai subordinat.
Pendek kata, perempuan Indonesia masa kini juga tidak boleh lupa kepada jasa R.A. Kartini yang memperjuangkan hak-hak perempuan sehingga mereka dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Perempuan juga tidak perlu lagi takut atau kehidupannya dirampas karena adanya perjodohan yang dipaksakan oleh orangtua.
Karena apa pun alasannya, perempuan memiliki kehidupan seperti juga laki-laki yang harus dihargai dan tidak boleh dijadikan objek. Terlebih, sebagai objek pelampiasan hasrat seksual, seperti pelecehan atau kekerasan yang menjurus kepada aspek biologisnya sebagai perempuan.
Baca juga: Emosi Negatif dalam Keluarga, Penyebab dan Cara Mengelolanya