Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arif Nurdiansah
Peneliti tata kelola pemerintahan

Peneliti tata kelola pemerintahan pada lembaga Kemitraan/Partnership (www.kemitraan.or.id).

Demokrasi Kopi

Kompas.com - 19/12/2022, 16:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Saat di Aceh dulu, kopi identik dengan hitam, pahit, dan orang tua. Saat ini, tidak hanya pulau Sumatera, dari Sabang sampai Merauke dihiasi dengan kedai kopi yang diisi dengan anak muda, laki-laki dan perempuan, dengan segala varian kopi yang ditawarkan.

Kopi juga mampu bertransformasi menjadi media yang cukup efektif, dari mulai urusan lobi-lobi pekerjaan, mempererat hubungan, atau bahkan mendamaikan pertikaian. Misalnya, saat ingin mengajak pasangan, atasan maupun rekan kerja, bahkan orang-orang yang bersengketa untuk bicara, biasanya ajakannya berupa “ngopi yuk.”

Saat sudah di kedai, mau pesan apapun selain kopi, tidak ada satupun yang janggal dan menginterupsi, karena ruang komunikasi dan diskusi sudah terbuka. Sementara pada sisi lain bonus demografi yang ditandai dengan besarnya jumlah anak muda, belum sepenuhnya mampu menjadikan demokrasi sebagai media untuk mencapai tujuan seperti yang dicita-citakan para pendahulu kita.

Penyebabnya, karena anak muda tidak sepenuhnya dilibatkan dalam berdemokrasi. Jikapun ada, kita dapat dengan telanjang mata melihat latar belakang keluarga atau hubungan mereka dengan para petinggi maupun pemegang kekuasaan saat ini.

Penyebab lain adalah karena syahwat kekuasaan dari generasi di atasnya yang terlalu besar. Kita ingat di Pemilu 2014 maupun 2019, berbondong-bondong politisi negeri ini mengaku mewakili anak muda, bahkan sebagian lagi merasa dirinya sebagai anak muda.

Tampilan mereka berubah, dibalut dengan pakaian maupun aksesoris yang identik dengan anak muda. Menciptakan ruang diskusi dan dengan saksama mendengarkan apa yang jadi aspirasi anak muda. Tapi kemudian saat suara anak muda dititipkan dan menjadi sebab mereka mendapat kekuasaan, mereka amnesia dan janji-janji yang mereka sampaikan hanya imaji.

Transformasi yang ada hanya demi suara. Mereka menegasikan semangat kolaboratif dalam kerja-kerja pembangunan, mendeligitimasi masukan dan usulan serta membatasi ruang-ruang berpendapat.

Ujungnya, survei CSIS (2022) menyebut anak muda merasa tak bebas mengkritik pemerintah. Kondisi ini harus menjadi peringatan, jangan sampai anak muda antipati, dan terjadi penurunan dukungan terhadap demokrasi. Aneh saja jika demokrasi mati, justru di tengah-tengah generasi yang logika berpikirnya sangat demokratis.

Dari perjalanan kopi, kita melihat apa yang dapat anak muda lakukan. Saatnya anak muda diberi kesempatan untuk mengubah wajah demokrasi demi masa depan Indonesia, momentumnya sudah sangat dekat (2024). Pilihannya ada pada anak muda, mau terlibat atau sekadar jadi pengamat dan penikmat?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com