Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Deddy Herlambang
Pengamat Transportasi

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN)

Cegah Kendaraan Listrik Bikin Tambah Macet dan Timbulkan Masalah Lingkungan Baru

Kompas.com - 24/11/2022, 13:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUARA pemerintah mengharapkan masyarakat beralih ke kendaraan listrik sudah santer sejak 1,5 tahun lalu. Puncaknya ketika perhelatan G20 pada 15-16 November 2022 di Bali. Semua kendaraan operasional resmi G20 mengunakan kendaraan listrik, kecuali mobil kepresidenan masing-masing negara.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah mewajibkan semua kendaraan operasional pemerintah menggunakan kendaraan listrik.

Pilihan menggunakan kendaraan listrik memang tepat untuk perbaikan kualitas karbon di udara sehingga emisi gas buang kendaraan bermotor tidak merusak oksigen udara.

Baca juga: Dorong Penggunaan Kendaraan Listrik, Menhub: Kita Tinggalkan Kendaraan Berbahan Bakar Fosil

Tambah macet

Berdasarkan data Korlantas Polri tahun 2021, jumlah kendaraan bermotor di wilayah hukum Polda Metro Jaya ada sebanyak 22.091.244 unit. Jumlah kendaraan bermotor di Jabodetabek (wilayah hukum Polda Metro Jaya) itu mencapai 14,87 persen dari total kendaraan bermotor di Indonesia yang sebanyak 148.556.506 unit.

Jumlah kendaraan bermotor di Jabodetabek menjadi yang terbanyak kedua setelah Jawa Timur, yang sekitar 15,88 persen atau 23,5 juta unit. Tentunya dari luasan wilayahnya, sangat padat kendaraan bermotor di Jabodetabek bila dibandingkan dengan Jawa Timur.

Sementara berdasarkan data Badan Pusat Stastistik (BPS) 2021, jumlah kendaraan di Jakarta mencapai 21,75 juta, tumbuh 7,6 persen dari tahun sebelumnya.

Angka itu merupakan jumlah kendaraan yang sangat banyak. Di Jalan Sudirman, Jakarta pada jam sibuk, volume kendaraan mencapai 8.000 satuan mobil perjam (SMP). Kategori normal 7.000 SMP.

Baca juga: Pengamat Transportasi: Euforia Kendaraan Listrik Jangan Hanya Berhenti Sampai KTT G20

Dengan tanpa kejelasan perencanaan konversi penjualan kendaraan yang menggunakan BBM ke kendaraan listrik, apakah kondisi itu mau jadi tambah macet lagi? Konversi di sini maksudnya, mengganti kendaraan ber-BBM dengan kendaraan listrik. Dengan demikian volume kendaraan di jalan tetaplah sama, bukan malah bertambah.

Saat ini harga kendaraan listrik masih murah dan belum terkena pajak. Hal itu sehingga berpotensi menambah volume kendaraan di jalanan.

Kendaraan dengan BBM dan listrik masih pararel dijual. Tanpa ada konversi nyata untuk mengurangi kendaraan dengan BBM, hanya akan menambah volume kendaraan, yang akan berimbas pada kemacetan di jalanan.

Walau udara lebih bersih karena kendaraan listrik tetapi bila jalan raya tambah macet, akan percuma karena tetap tidak akan produktif.

Bila angkutan umum massal kita berhasil mengangkut minimal 50 persen mobilitas orang setiap hari di jalan, dengan sendirinya kualitas udara kita akan lebih baik. Lebih tepat diperlukan keseimbangan dengan pengadaan angkutan umum massal yang lebih ramah lingkungan daripada fokus beralih kepada kendaraan listrik pribadi.

Barangkali perekonomian akan meningkat.  Pasalnya, industri otomotif akan bangkit karena orang  membeli kendaraan listrik. Namun di sektor perencaaan transportasi dan lingkungan akan dilihat sebagai kegagalan.

Indonesia switch off penjualan kendaraan BBM masih lama, yaitu tahun 2050. Untuk itu diperlukan master plan dan milestone yang matang. Jangan sampai switching ke kendaraan listrik masih coba-coba sambil menunggu masalah baru muncul, lantas baru dibuatkan regulasinya.

Diperlukan leader dalam mengorganisir proyek kendaraan listrik ini, yang berada di bawah presiden langsung dan di atas seorang menteri, supaya dapat bekerja sama antar lini sektor guna melepas ego-sektoral.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com