Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Jumlah Hakim di Pengadilan Selalu Ganjil?

Kompas.com - 22/10/2022, 17:00 WIB
Diva Lufiana Putri,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Sosok hakim erat kaitannya dengan pengadilan. Bahkan, profesi ini kerap dianggap sebagai wajah pengadilan.

Hakim bertugas di pengadilan untuk mengadili atau memeriksa sebuah perkara.

Jumlah hakim yang dikerahkan tergantung perkara, tetapi selalu berjumlah ganjil.

Mengapa demikian? Adakah alasan khusus mengapa hakim selalu ganjil?

Baca juga: Mengapa Hakim Dipanggil “Yang Mulia”? Ini Penjelasannya

Alasan jumlah hakim selalu ganjil

Pengaturan jumlah hakim saat memeriksa dan memutus perkara di pengadilan, terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).

Pasal tersebut menyebutkan, susunan majelis sekurang-kurangnya terdiri dari tiga hakim dengan seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.

Jumlah hakim yang ganjil itu bertujuan untuk menghindari deadlock atau buntu.

Dikutip dari Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim tulisan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama, Insyafli, sebelum majelis hakim mengambil kesimpulan atau mengucapkan putusan, mereka akan melakukan musyawarah.

Musyawarah majelis dilakukan dalam sidang tertutup, dan masing-masing hakim mengemukakan pendapat hukumnya tentang perkara secara rahasia.

Artinya, isi musyawarah tidak diketahui oleh orang di luar majelis hakim yang bertugas.

Selanjutnya, apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara hakim, maka harus diselesaikan melalui voting dengan menghitung suara terbanyak.

Dengan jumlah yang ganjil, pemungutan tidak akan menghasilkan suara seimbang. Pasti akan ada suara yang lebih banyak dari lainnya, sehingga jalan buntu dapat terselesaikan.

Bagi pendapat hakim yang kalah suara, meskipun dia seorang hakim ketua, harus mengikuti suara mayoritas.

Hal tersebut senada dengan pengaturan dalam Pasal 182 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni:

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com