Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gurgur Manurung
Tenaga Ahli Komisi VI DPR RI

Alumni Pasca Sarjana IPB Bogor bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Indonesia Kuat jika Nasib Petani Jadi Prioritas Kebijakan Negara

Kompas.com - 24/09/2022, 14:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TANGGAL 24 Sepetember diperingati sebagai Hari Tani Nasional.

Akhir-akhir ini, saat pandemi Covid-19 melandai, seluruh dunia, termasuk Indonesia, berbicara tentang krisis pangan. Ketika terjadi krisis pangan, kebijakan apa yang dilakukan pemerintah untuk menyiasatinya? Indonesia membuka food estate di Humbang Hasundutan di Sumatra Utara dan di Kalimantan.

Baca juga: Jelang Hari Tani Nasional, Petani Sayur di Pangalengan Dicekik Tingginya Harga Pupuk hingga Ancaman Investor Wisata

Lalu, kebijakan apa yang dilakukan untuk petani? Paradigma apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mendukung petani agar menjadi penjaga gawang ketahanan pangan?

Pupuk langka, subsidi pupuk macet

Beberapa tahun terakhir, hampir di seluruh Indonesia petani berteriak soal kelangkaan pupuk subsidi. Pemerintah sebenarnya telah memberikan penugasan kepada PT Pupuk Indonesia sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memproduksi pupuk yang dibutuhkan rakyat.

Faktanya, dalam rapat dengar pendapat Komisi VI DPR RI dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) pada 19 Sepetember 2022, perusahaan itu menyampaikan bahwa dana subsidi itu, yang dikenal dengan sebutan public service obligation (PSO), belum dibayarkan Kementerian Keuangan sejak 2020 sampai Juli tahun 2022. Total jumlahnya Rp 17,47 triliun.

Kita mengetahui, petani menanam dengan mengikuti musim. Jika mereka tidak cerdas mengikuti musim, tanamannya akan menjadi korban kemarau yang berkepenjangan.

Baca juga: Petani Teriak Pupuk Langka di Pasaran, Ini Penjelasan BUMN Pupuk

Karena kondisi itu, petani mau tidak mau mengikutinya tetapi ketika mereka mengikuti musim persediaan pupuk tidak ada. Petani meraung-raung saat tanaman mereka membutuhkan pupuk tetapi pupuk justru tidak tersedia.

Dalam kondisi pupuk bersubsidi tidak ada, tanaman tidak boleh terlambat dipupuk. Maka,  petani terpaksa meminjam uang ke tengkulak. Lengkaplah derita petani. Uang dari tengkulak berbunga tinggi, pupuk bersubsidi tidak ada.

Sementara itu, perusahaan pupuk secara bisnis akan memilih mengekspor pupuk jika harga pupuk lebih tinggi di luar negeri.

PT Pupuk Indonesia akan terganggu arus kasnya jika dana yang dijanjikan pemerintah tidak dibayar. Namun yang sangat terdampak dari kondiri itu adalah para petani.

Saat Kementerian Keuangan terlambat membayar PSO ke PT Pupuk Indonesia, yang sebetulnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan petani di seluruh Indonesia, dampaknya petani terlunta-lunta.

Kebutuhan pupuk bersubsisdi diperkirakan 25,18 juta ton. Namun, Kementerian Pertanian hanya bisa memenuhi sebanyak 9,5 juta ton. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan, pemerintah hanya dapat menyediakan 40 persen dari total pengajuan pupuk bersubsidi.

Keterbatasan persediaan pupuk subsidi itu acapkali menimbulkan ketidakadilan di kalangan petani. Petani mana yang berhak mendapat subsidi dan mana yang tidak? Itu juga telah menjadi soal tersendiri.

Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk adil, tetapi tidak pernah tercapai keadilan itu.

Konflik di arus bawah terus berlanjut karena informasi simpang siur dan Dinas Pertanian di daerah acapkali dituding sebagai biang kerok kelangkaan pupuk.

Padahal, pupuk bersubsidi yang sangat terbatas menjadi sumber persoalan. Pemerintah menugaskan PT Pupuk Indonesia dengan cara PSO tetapi dana PSO itu terlambat dibayar.

Selain terlambat bayar, pupuk yang tersedia juga acapkali salah sasaran akibat penegakan hukum yang lemah.

Hal inilah yang terjadi dan petani yang berharap mendapat subsidi menunggu. Tanaman mereka lalu jadi gagal panen akibat pupuk tidak tersedia.

Bicara pupuk identik dengan kelangkaan stok, harga yang mahal, penyelewenagan, manipulasi. 

Petani identik dengan pemasalahan

Berbicara ketahanan pangan berarti bicara petani. Berbicara petani berarti bicara lahan, benih, pupuk, teknologi produksi pertanian, teknologi pasca panen, dan harga.

Sayangnya, semua itu bermasalah. Lahan tanah adat bermasalah dan nyaris tanpa perlindungan pemerintah. Benih telah dikuasai korporasi. Teknologi nyaris tidak begitu berkembang dan kalaupun berkembang hanya dikuasai kelompok tertentu. Harga hasil pertanian juga tidak stabil.

Ketika terjadi krisis pangan, pemerintah malah membuat food estate. Food estate justru merupakan ancaman bagi petani karena produk estate akan mengganggu produk petani.

Sejak dahulu, petani kita tidak bergairah bekerja karena tidak ada jaminan harga hasil panen akan stabil. Andaikan ada jaminan harga produk pertanian stabil, petani pasti sangat bergairah, bahkan kreatif untuk bertani.

Jika harga tabil, petani kita akan melahirkan inovasi secara terus-menerus untuk meningkatkan produksi.

Jika food estate berproduksi dan hasil produksinya dilempar ke pasar, produk food estate akan menang dibanding produk petani tradisional.

Baca juga: Hari Tani dan Nasib Petani

Dengan kalahnya produk petani tradisional, nasib mereka akan semakin terpuruk. Akibatnya, ketika terjadi pendemi Covid-19 seperti beberapa waktu lalu, para petani malah diberi beras, telur, dan kebutuhan pokok yang sebenarnya sangat mudah dihasilkan petani sendiri.

Pemerintah kita, sejak Orde Baru gagal merangsang petani untuk kreatif. Sangat ironis, petani justru dikasih beras dan telur ayam.

Petani harus mendapat prioritas negara

Di Hari Tani Nasional ini, mari kita berkomitmen untuk memberikan kedaulatan kepada petani dengan menyediakan lahan bagi petani. Petani harus dilatih untuk memproduksi bibit unggul.

Teknologi pertanian harus yang berpihak kepada rakyat dan difasilitasi pemerintah. Dengan kestabilan harga produk pertanian, pemerintah harus memfasilitasi petani untuk memproduksi sesuatu yang bernilai lebih.

Terkait pupuk, pemerintah harus prioritaskan PSO dibandingan pengeluaran lain. Kita harus menyadari, prioritas hidup manusia adalah pangan. Sehebat apapun suksesnya usaha kecil menengah (UKM) dan pertumbuhan ekonomi, tanpa ketersediaan pangan, hal itu merupakan kesia-siaan.

Justru sangat mengherankan bahwa keberpihakan terhadap petani tidak menjadi prioritas. Jika ingin ketahaan pangan terjamin, negara harus memprioritaskan kebutuhan petani seperti ladang, pelatihan pembuatan benih unggul, keterampilan membuat pupuk organik, prioritas PSO untuk pupuk, teknologi pertanian, dan harga produk pertanian dikendalikan.

Jika kebijakan yang melindungi petani tidak segera dilakukan, petani akan makin menjadi beban negara. Rakyat yang sejatinya produktif membangun negara akan menjadi beban negara.

Slogan yang mengatakan, tidak ada nasi di meja makan tanpa ada jerih payah petani, harus menjadi renungan kita bersama yang kemudian diwujudkan agar petani sejahtera dan daya tahan negara kita kuat.

Selamat Hari Tani!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Media Asing Soroti Penampilan Perdana Timnas Sepak Bola Putri Indonesia di Piala Asia U17 2024

Media Asing Soroti Penampilan Perdana Timnas Sepak Bola Putri Indonesia di Piala Asia U17 2024

Tren
Seorang Bocah Berusia 7 Tahun Meninggal Setelah Keracunan Mi Instan di India

Seorang Bocah Berusia 7 Tahun Meninggal Setelah Keracunan Mi Instan di India

Tren
Apa Itu KRIS? Pengganti Kelas BPJS Kesehatan per 30 Juni 2025

Apa Itu KRIS? Pengganti Kelas BPJS Kesehatan per 30 Juni 2025

Tren
Kata Media Asing soal Kecelakaan di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Kata Media Asing soal Kecelakaan di Subang, Soroti Buruknya Standar Keselamatan di Indonesia

Tren
Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Pendaftaran STIS 2024 Dibuka 15 Mei, Total 355 Kuota, Lulus Jadi CPNS

Tren
Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Mencari Bus Pariwisata yang Layak

Tren
DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

DNA Langka Ditemukan di Papua Nugini, Disebut Bisa Kebal dari Penyakit

Tren
Duduk Perkara Komika Gerallio Dilaporkan Polisi atas Konten yang Diduga Lecehkan Bahasa Isyarat

Duduk Perkara Komika Gerallio Dilaporkan Polisi atas Konten yang Diduga Lecehkan Bahasa Isyarat

Tren
Arab Saudi Bangun Kolam Renang Terpanjang di Dunia, Digantung 36 Meter di Atas Laut

Arab Saudi Bangun Kolam Renang Terpanjang di Dunia, Digantung 36 Meter di Atas Laut

Tren
Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Penjelasan Pertamina soal Pegawai SPBU Diduga Intip Toilet Wanita

Tren
Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Tren
Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Tren
Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Tren
Uji Coba Implan Otak Neuralink Pertama untuk Manusia Alami Masalah, Ini Penyebabnya

Uji Coba Implan Otak Neuralink Pertama untuk Manusia Alami Masalah, Ini Penyebabnya

Tren
BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com