Menjelang pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang secara perlahan hingga akhirnya benar-benar berhenti pada 14 April 1815.
Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi hari 11 April 1815.
Beberapa pemimpin melaporkan adanya serangan senjata api yang terus-menerus sejak fajar merekah. Orang-orang dikirim untuk penyelidikan, tetapi tidak menemukan apa pun.
Suara yang sama juga terdengar di wilayah-wilayah Saloomah, Manna, Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain.
Seorang asing yang tinggal di Teluk Semanco menulis, sebelum 11 April 1815 terdengar tembakan meriam sepanjang hari.
Baca juga: Keluarkan Awan Panas, Ini Letusan-Letusan Besar yang Pernah Terjadi di Merapi
Pukul 09.00, tidak ada cahaya pagi.
Lapisan abu tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa sarapan dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati siang hari.
Pukul 11.30 mulai terlihat cahaya matahari menerobos awan abu tebal.
Pada 12-15 April, udara masih tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih terhalang.
Dengan sedikit dan terkadang tidak ada angin sama sekali. Pagi hari 15 April, kami berlayar dari Makassar dengan sedikit angin.
Di atas laut terapung batu-batu apung, dan air pun tertutup debu.
Di sepanjang pantai, pasir terlihat bercampur dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon tumbang.
Perahu sangat sulit menembus Teluk Bima karena laut benar-benar tertutup.
Baca juga: Lapan Sebut Suara Dentuman Bukan dari Letusan Gunung Anak Krakatau
Masyarakat yang selamat dari letusan itu kemudian menuliskan beragam kisah, seperti "Syair Kerajaan Bima" yang ditulis oleh Khatib Lukman.
Syair yang terdiri dari 488 bait itu di antaranya memuat kisah ledakan Tambora.