Kendati demikian, kenaikan utang Indonesia tersebut diikuti dengan kualitas belanja APBN yang semakin membaik.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Covid-19 Akan Jadi Endemi, Apa Artinya?
“Dan tampak sangat jelas kualitas belanja APBN semakin baik. Belanja berbagai program prioritas pun tumbuh dengan baik. Artinya utang semakin produktif untuk kepentingan publik,” terangnya.
Adapun realisasi belanja APBN tersebut, meliputi bantuan sosial (bansos), subsidi pemerintah, dan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
“Ini sering saya ulang. Uang pajak dan utang dipakai untuk keperluan rakyat, mulai dari bansos, subsidi, hingga infrastruktur fisik dan nonfisik,” jelasnya.
Baca juga: 5 Cara Membayar Utang di Tengah Dampak Pandemi Covid-19
Yustinus mengatakan total utang Indonesia secara nominal memang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Pihaknya mengaku akan terus memperbaiki pengelolaan utang agar pengelolaannya lebih sehat.
Yustinus melaporkan bahwa proporsi utang yang ditarik oleh Indonesia sempat menunjukkan penurunan pada 2015-2019. Kemudian kembali meningkat pada 2020 lantaran pandemi Covid-19.
“Dari 2015 hingga 2019, proporsi utang yang ditarik oleh pemerintah menunjukkan tren menurun. Meningkat drastis pada 2020 karena pandemi. Namun, penambahan utang kita pun masih tergolong moderat ketimbang negara lain,” jelasnya.
Baca juga: Utang Negara Capai Rp 7.000 Triliun, Pajak dan Harga Komoditas Naik Jadi Jalan Keluar?
Di sisi lain, penambahan nominal utang juga sebanding dnegan pertumbuhan aset di Indonesia.
“Tahun 2020 aset pemerintah tumbuh tajam, 2,5 kali lipat dibanding 2014. Selain karena revaluasi, ini menunjukkan pemanfaatan utang utk keperluan produktif, bukan konsumtif,” imbuh Yustinus.
Diberitakan sebelumnya oleh Kompas.com, berikut rincian utang Indonesia di era Jokowi:
Baca juga: Menyoal Tingginya Utang Indonesia dan Beban Generasi Mendatang