Tidak terbantahkan lagi bagi masyarakat nusantara pawang atau dukun sudah menjadi laku keseharian.
Mungkin saja dalam penamaan yang berbeda-beda, namun sesungguhnya praktik itu secara umum hidup.
Di Minangkabau, contoh, pawang hujan dinamakan tukang sarang hari. Tukang sarang hari ini tidak hanya direpresentasikan dari kalangan tradisional, namun juga diasosiasikan terhadap person yang memiliki latar agama yang kuat.
Laku semacam ini tidak hanya menjadi gejala masyarakat umum yang tradisional. Sekelas pejabat pemerintah, politisi dan TNI-Polri tidak bisa dilepaskan dengan praktik dukun ini ketika menjalankan tugasnya.
Sudah banyak riset yang membuktikan bahwa masyarakat modern dan maju masih tetap menjalani ritual tertentu dalam memenuhi hajatnya.
Alam rasionalitas semacam ini terasa canggung dan menggelikan, namun sejatinya dipraktikan secara sembunyi-sembunyi.
Oleh sebab itu meminjam bahasa Geertz (1992), perlu pendekatan kebudayaan dengan cara menyelami dan menafsirkan simbol-simbol dan makna kultural lebih mendalam dan menyeluruh dari titik pijak pelaku kebudayaan itu sendiri sehingga yang lain dapat menangkap mengapa, latar belakang, faedah, fungsi dan tujuan seseorang dalam menjalankan unsur-unsur kebudayaan.
Kebudayaan adalah tenunan makna dan kadang sebagian orang terperangkap dalam itu atau dalam terminologi Weber bahwa manusia merupakan seekor binatang yang bergantung dalam jaringan-jaringan makna yang ditemukan sendiri.
Artinya bahwa dalam pengaruh kebudayaan ini juga berdampak terhadap rasionalisasi agama. Maka wajar saja terkadang rasionalisasi agama memunculkan goncangan terhadap tatanan sosial masyarakat.
Apa yang menjadi perbincangan sekarang di media sosial adalah bagaimana rasionalitas sains dan agama mengguncang praktik kebudayaan.
Simpulannya dengan tetap dalam alur Geerzt bahwa kegiatan pawang di Sirkuit Mandalika sekurang-kurangnya merupakan kegiatan yang memperjelas tentang sesungguhnya seperti apakah orang Indonesia itu.
Oleh karenanya keberhasilan dalam menjangkau makna adalah kunci karena kebudayaan merupakan sebuah teks yang perlu ditafsirkan maknanya daripada sekadar melihatnya sebagai pola perilaku yang sifatnya konkret.
Kehadiran simbol-simbol (kemenyan, kendi, air, bunga mawar, melati, kenanga, kopi, rokok dan sebagainya) akan menjadi pola makna yang kemudian menjadi milik kolektif suatu kelompok yang akhirnya menyejarah.
Akhirnya, Indonesia memiliki kemajemukan ideologis dan kepercayaan (doctrinal belief). Memahami Indonesia mesti membuka lebih luas dimensi-dimensi sosiologis dan antropologis (kebudayaan).
Jika ini tidak dihampiri dalam ranah ini, maka sudah bisa dipastikan masuk dalam kecambah gagal faham bahkan bisa bias kognisi.
Oleh karenanya, setiap kebudayaan memiliki cara hidupnya sendiri yang mesti dipahami dalam konteks dan kebudayaan yang bersangkutan.
Kadang kita menilai pakaian orang lain dengan ukuran baju kita sendiri. Wallahua’lam bishawab.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.