Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Taufik
Dosen UIN Imam Bonjol Padang

Dosen dan Ketua Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang. Direktur Eksekutif Mata Institute

MotoGP, Pawang dan Masyarakat Prismatik

Kompas.com - 24/03/2022, 11:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA kembali mengalami lompatan signifikan, kali ini di ajang otomotif. Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan MotoGP 2022 atau Pertamina Grand Prix Indonesia di Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat.

Mata dunia otomatis tertuju ke sirkuit yang baru saja selesai dibangun oleh pemerintah Indonesia.

Ini menjadi prestasi baru bagi Indonesia, meski tetap saja tetap menuai kritik dari pelbagai pihak.

Ajang moto GP ini menampilkan para raider-raider hebat seantero jagad, meski sang legenda, Valentino Rossi, tidak tampil di line balapan, namun ia tetap hadir sebagai bentuk apresiasi penyelenggaraan GP untuk pertama kali di Mandalika.

Hasil akhir pembalap Spanyol Miguel Oliviera dari KTM keluar sebagai pemenang di kelas bergengsi ini.

Ternyata sukses penyelengaraan event ini tidak hanya menempatkan Indonesia pada level dunia sebagai tuan rumah, namun ini semakin dibuat riuh dengan kehadiran peristiwa unik bercampur magis.

Kehadiran sosok Rara Istiati Wulandari yang akrab dipanggil Mbak Rara sebagai Pawang hujan (rain shamans) dikomentari oleh para warganet.

Aksinya tidak hanya berada di belakang layar, sebagaimana para pawang atau dukun laki-laki pada umumnya, namun dengan pakaian kekinian ia keluar dari paddock, lengkap dengan segala pernak pernik ritualnya, berjalan menapaki lintasan seperti artis sedang memainkan opera.

Alhasil pertunjukannya sebagai pawang hujan di Mandalika semakin membuat event Grand Prix ini bercita rasa nusantara.

Fenomena semacam ini tidak pernah hadir dalam pelbagai sirkuit di belahan dunia manapun sehingga aksi Rara tidak hanya mencuri perhatian para penonton dan masyarakat dunia, namun juga para pembalap.

Situs resmi MotoGP (Twitter) juga ikut mengomentari penampilan Mbak Rara.

Aksinya kali ini memunculkan berjibun komentar, memuji, mencaci bahkan tidak sedikit mengapresiasi.

Dengan latar belakang pribadi yang berbeda para warganet menghakimi pawang perempuan tersebut.

Dari beberapa catatan di media sosial ada hal yang menarik untuk disuguhkan, yaitu sebagian masyarakat mengkritik praktik semacam itu sebagai tindakan memalukan dan irasional di tengah Grand Prix atau perhelatan Moto gp yang semua sistem, mekanisme bahkan teknologinya berorientasi kepada tindakan-tindakan sains, rasional, terukur, mekanik, statistik dan jauh dari hal yang berbau mistis atau magis.

Peristiwa kehadiran hal-hal irasional di tengah masyarakat modern yang positivistik dan lengkap dengan segala rekayasa teknologi menarik untuk telisik lebih tajam.

Pawang dan perlawanan atas dominasi rasionalitas

Indonesia tidak sepenuhnya menjadi Barat. Barat yang diimajinasikan sebagai bagian gembong rasionalitas bertubrukkan dengan pendekatan-pendekatan lokalitas nusantara.

Indonesia tidak sepenuhnya menjadi masyarakat modern. Di tengah dominasi rasionalitas yang menjadi tolak ukur masyarakat modern, kehadiran hal-hal irasionalitas; magis, mistik, spritualitas dan sebagainya sebagai petanda bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan autentiknya.

Aspek ritual yang mengetengahkan simbol-simbol kebudayaan seperti sesajen, bunga, kemenyan dan lain-lain menjadi bagian yang asli dari wajah nusantara ini.

Analisis ini semakin menegaskan apa yang disemai oleh Fred W. Riggs dalam bukunya Administration in Developing Countries, The Prismatic Society (1994).

Dari risalah Riggs ini bisa dimaklumi bahwa Indonesia dalam perkembangannya berada di antara dua kutub ekstrem dalam suatu keberlanjutan masyarakat tradisional atau terpusat (focused) atau masyarakat modern yang terpencar (diffracted).

Gambaran lebih jauh adalah bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat di mana terjadi tumpang tindih antara yang rasional dengan irasional atau tradisional dengan modern.

Karakteristik masyakarakat tradisional tetap menjaga tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari satu epos ke epos selanjutnya.

Sementara masyarakat modern menerima pengaruh dunia luar (rasionalitas). Ketumpang tindihan itu akhirnya menjadi arsiran Indonesia sesungguhnya yang berada secara faktual dalam episode transisi (prismatik).

Konsekuensi dari masyarakat prismatik memunculkan kecenderungan menerima atau menolak sesuatu yang datang dari luar.

Rasionalitas Rara

Praktik Rara sejatinya menemukan rasionalitasnya sendiri. Dengan tetap mengamini Riggs, bagi Rara kebahagian dan ketentraman merupakan kemampuan manusia membangun keserasian hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia lain, dan alam dengan penguasa jagat raya (Tuhan).

Prosedur untuk melakukan itu berliku-liku, kedermawanan, konsiliasi dan kompromi, penghindaran, pertaruhan bahkan menggunakan sihir untuk mencegah permusuhan yang bisa merusak kepermanenan.

Rara senyatanya sedang berhadapan dengan karakteristik masyarakat modern (industri) yang berorientasi pada norma-norma prestasi, nilai persamaan, tujuan yang bersifat materialistis (positivitik) dan mencari cara-cara rasional untuk mencapai maksud dan tujuannya.

Rara memandang dunia hanya dari sisi kekeramatan dan supra natural, sedangkan sebagian warganet memandang dunia dalam makna sekular dan keduniawian.

Ini semakin meneguhkan bahwa di Indonesia sistem tradisional tidak akan punah sama sekali, walaupun ada pengaruh industrialisasi yang menjadikan rasionalitas sebagai filosofi bergerak dan tumbuhnya.

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, rasionalitas dalam frame Barat tidak dapat mengubah, mengesampingkan nilai-nilai luhur mereka ke arah sekular yang segalanya dirumuskan dengan angka-angka, statistik dan variabel yang bisa diukur dengan ilmiah.

Pawang dan dukun pakaian hidup

Tidak terbantahkan lagi bagi masyarakat nusantara pawang atau dukun sudah menjadi laku keseharian.

Mungkin saja dalam penamaan yang berbeda-beda, namun sesungguhnya praktik itu secara umum hidup.

Di Minangkabau, contoh, pawang hujan dinamakan tukang sarang hari. Tukang sarang hari ini tidak hanya direpresentasikan dari kalangan tradisional, namun juga diasosiasikan terhadap person yang memiliki latar agama yang kuat.

Laku semacam ini tidak hanya menjadi gejala masyarakat umum yang tradisional. Sekelas pejabat pemerintah, politisi dan TNI-Polri tidak bisa dilepaskan dengan praktik dukun ini ketika menjalankan tugasnya.

Sudah banyak riset yang membuktikan bahwa masyarakat modern dan maju masih tetap menjalani ritual tertentu dalam memenuhi hajatnya.

Alam rasionalitas semacam ini terasa canggung dan menggelikan, namun sejatinya dipraktikan secara sembunyi-sembunyi.

Oleh sebab itu meminjam bahasa Geertz (1992), perlu pendekatan kebudayaan dengan cara menyelami dan menafsirkan simbol-simbol dan makna kultural lebih mendalam dan menyeluruh dari titik pijak pelaku kebudayaan itu sendiri sehingga yang lain dapat menangkap mengapa, latar belakang, faedah, fungsi dan tujuan seseorang dalam menjalankan unsur-unsur kebudayaan.

Kebudayaan adalah tenunan makna dan kadang sebagian orang terperangkap dalam itu atau dalam terminologi Weber bahwa manusia merupakan seekor binatang yang bergantung dalam jaringan-jaringan makna yang ditemukan sendiri.

Artinya bahwa dalam pengaruh kebudayaan ini juga berdampak terhadap rasionalisasi agama. Maka wajar saja terkadang rasionalisasi agama memunculkan goncangan terhadap tatanan sosial masyarakat.

Apa yang menjadi perbincangan sekarang di media sosial adalah bagaimana rasionalitas sains dan agama mengguncang praktik kebudayaan.

Simpulannya dengan tetap dalam alur Geerzt bahwa kegiatan pawang di Sirkuit Mandalika sekurang-kurangnya merupakan kegiatan yang memperjelas tentang sesungguhnya seperti apakah orang Indonesia itu.

Oleh karenanya keberhasilan dalam menjangkau makna adalah kunci karena kebudayaan merupakan sebuah teks yang perlu ditafsirkan maknanya daripada sekadar melihatnya sebagai pola perilaku yang sifatnya konkret.

Kehadiran simbol-simbol (kemenyan, kendi, air, bunga mawar, melati, kenanga, kopi, rokok dan sebagainya) akan menjadi pola makna yang kemudian menjadi milik kolektif suatu kelompok yang akhirnya menyejarah.

Akhirnya, Indonesia memiliki kemajemukan ideologis dan kepercayaan (doctrinal belief). Memahami Indonesia mesti membuka lebih luas dimensi-dimensi sosiologis dan antropologis (kebudayaan).

Jika ini tidak dihampiri dalam ranah ini, maka sudah bisa dipastikan masuk dalam kecambah gagal faham bahkan bisa bias kognisi.

Oleh karenanya, setiap kebudayaan memiliki cara hidupnya sendiri yang mesti dipahami dalam konteks dan kebudayaan yang bersangkutan.

Kadang kita menilai pakaian orang lain dengan ukuran baju kita sendiri. Wallahua’lam bishawab.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com