Indonesia tidak sepenuhnya menjadi Barat. Barat yang diimajinasikan sebagai bagian gembong rasionalitas bertubrukkan dengan pendekatan-pendekatan lokalitas nusantara.
Indonesia tidak sepenuhnya menjadi masyarakat modern. Di tengah dominasi rasionalitas yang menjadi tolak ukur masyarakat modern, kehadiran hal-hal irasionalitas; magis, mistik, spritualitas dan sebagainya sebagai petanda bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan autentiknya.
Aspek ritual yang mengetengahkan simbol-simbol kebudayaan seperti sesajen, bunga, kemenyan dan lain-lain menjadi bagian yang asli dari wajah nusantara ini.
Analisis ini semakin menegaskan apa yang disemai oleh Fred W. Riggs dalam bukunya Administration in Developing Countries, The Prismatic Society (1994).
Dari risalah Riggs ini bisa dimaklumi bahwa Indonesia dalam perkembangannya berada di antara dua kutub ekstrem dalam suatu keberlanjutan masyarakat tradisional atau terpusat (focused) atau masyarakat modern yang terpencar (diffracted).
Gambaran lebih jauh adalah bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat di mana terjadi tumpang tindih antara yang rasional dengan irasional atau tradisional dengan modern.
Karakteristik masyakarakat tradisional tetap menjaga tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari satu epos ke epos selanjutnya.
Sementara masyarakat modern menerima pengaruh dunia luar (rasionalitas). Ketumpang tindihan itu akhirnya menjadi arsiran Indonesia sesungguhnya yang berada secara faktual dalam episode transisi (prismatik).
Konsekuensi dari masyarakat prismatik memunculkan kecenderungan menerima atau menolak sesuatu yang datang dari luar.
Praktik Rara sejatinya menemukan rasionalitasnya sendiri. Dengan tetap mengamini Riggs, bagi Rara kebahagian dan ketentraman merupakan kemampuan manusia membangun keserasian hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia lain, dan alam dengan penguasa jagat raya (Tuhan).
Prosedur untuk melakukan itu berliku-liku, kedermawanan, konsiliasi dan kompromi, penghindaran, pertaruhan bahkan menggunakan sihir untuk mencegah permusuhan yang bisa merusak kepermanenan.
Rara senyatanya sedang berhadapan dengan karakteristik masyarakat modern (industri) yang berorientasi pada norma-norma prestasi, nilai persamaan, tujuan yang bersifat materialistis (positivitik) dan mencari cara-cara rasional untuk mencapai maksud dan tujuannya.
Rara memandang dunia hanya dari sisi kekeramatan dan supra natural, sedangkan sebagian warganet memandang dunia dalam makna sekular dan keduniawian.
Ini semakin meneguhkan bahwa di Indonesia sistem tradisional tidak akan punah sama sekali, walaupun ada pengaruh industrialisasi yang menjadikan rasionalitas sebagai filosofi bergerak dan tumbuhnya.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, rasionalitas dalam frame Barat tidak dapat mengubah, mengesampingkan nilai-nilai luhur mereka ke arah sekular yang segalanya dirumuskan dengan angka-angka, statistik dan variabel yang bisa diukur dengan ilmiah.