Sementara itu, ada pula risiko dari sisi kenaikan harga pokok makanan saat Ramadhan yang jatuh pada April 2022.
“Jadi Ramadhan dan lebaran di mana permintaan (bahan pokok) biasanya mengalami kenaikan. Dan ini ada tambahan dari kenaikan PPN,” tambah Bhima.
Hal tersebut akan sangat berdampak pada masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah
“Harus memperhatikan juga kesiapan dari daya beli masyarakat terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok. Karena yang terkena dampak adalah masyarakat menengah bawah,” katanya.
Baca juga: Perang Rusia Ukraina Bisa Pengaruhi APBN dan Picu Inflasi, Benarkah?
Melihat dampak dan situasi yang mungkin terjadi, menurut Bhima, pemerintah sebaiknya menunda kenaikan tarif PPN 11 persen.
Kebijakan tunda tarif PPN akan sangat mendukung pemulihan ekonomi, terlebih akibat dampak dari situasi geopolitik yang membuat inflasi jauh lebih tinggi.
Bhima menambahkan, kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen sebenarnya bukan masalah jika diterapkan saat konsumsi rumah tangga mulai solid.
Namun, berbeda cerita jika diterapkan pada saat ini.
Baca juga: Daftar Harga BBM Nonsubsidi Mulai 12 Februari dan Alasan di Balik Kenaikannya...
Terkait dengan penerimaan negara, Bhima menyebut masih ada tambahan windfall atau pajak dari naiknya harga komoditas global.
Oleh karena itu, penambahan tarif PPN bukan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan.
“Bahkan dengan hitung-hitungan harga minyak di atas 127 dollar AS per barrel terdapat tambahan penerimaan pajak dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) sebesar Rp 192 triliun dari selisih harga ICP (Indonesia Crude Price) di asumsi makro 63 dollar AS per barrel,” jelas Bhima.
Baca juga: Dampak Boikot Minyak Rusia bagi Dunia Internasional dan Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.