KETIKA berupaya menyusun isi buku “Pedoman Menuju Tidak Bahagia” terpaksa saya mempelajari apa yang disebut sebagai kebahagiaan.
Sejak awal sebelum mulai menyusun isi buku tersebut, saya sudah nekad menarik sebuah kesimpulan bahwa apa yang disebut sebagai kebahagiaan merupakan suatu bentuk perasaan, maka secara kualitatif kontekstual nisbi melekat pada persepsi yang sedang, telah atau akan merasakan perasaan tersebut.
Kebahagiaan mirip perasaan lain-lainnya seperti kepercayaan, keyakinan, keimanan, kasih-sayang, kebencian, keraguan, keacuhan, kepedulian, kecurigaan, ketakutan dan lain sebagainya.
Segenap jenis dan bentuk perasaaan pada hakikatnya subyektif, maka mustahil obyektif disamasebangunkan satu dengan lain apalagi lain-lainnya.
Meski demikian, selalu ada yang mencoba mengukur apa yang disebut sebagai kebahagiaan.
Agar terkesan lebih keren kebahagiaan diganti dengan istilah yang tidak semua orang mengenal artinya, yaitu eudaimonisme atau agar makin terkesan ilmiah: eudaimonologi.
Negara yang memelopori gerakan mengukur kebahagiaan di planet bumi ini adalah Bhutan.
Sebagai negara yang penduduknya mayoritas umat Buddha, maka ukuran yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan warga Bhutan adalah kaidah bahagia menurut Buddhisme yang berupaya menghindari kemelekatan sebagai sumber samsara.
Subyektifitas ukuran kebahagiaan berkaidah Buddhisme jelas beda dengan ukuran kebahagiaan berkaidah sekularisme, apalagi yang carnivora dan hedonis seperti saya.
Meski demikian, kepeloporan Bhutan mengukur kebahagiaan dianggap sedemikian membahagiakan sehingga ditiru negara-negara lain. Termasuk Indonesia.
Kompas.com 2 Maret 2022 memberitakan bahwa Badan Pusat Statistika (BPS) telah merilis laporan Indeks Kebahagiaan 2021.
Secara umum, Indeks Kebahagiaan di Indonesia pada 2021 mengalami peningkatan 0,8 poin menjadi 21,79 dibandingkan 70,69 pada 2017.
Maluku Utara masih menjadi provinsi paling bahagia dengan skor 76,34, disusul oleh Kalimantan Utara dan Maluku.
Sementara itu, Banten menjadi provinsi dengan skor Indeks Kebahagiaan terendah, yaitu 68,08.
Sedangkan DKI Jakarta menempati peringkat 8 terbawah dengan skor 70,58.