Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Kebijakan Tata Guna Lahan Harus Sesuai Karakter Per Daerah

Kompas.com - 14/03/2022, 09:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SELAMA 170 tahun terakhir, alih fungsi lahan atau tata guna lahan selalu mengubah siklus karbon di Bumi. Hasil riset Houghton et al. (2001) dari Oak Ridge National Laboratory, Amerika Serikat (AS) misalnya, menyebut kira-kira 35 persen emisi karbon dioksida (CO2) antropogenik berasal dari tata-guna lahan.

Perubahan buka-tutup lahan juga sangat memengaruhi iklim setempat dan kawasan, akibat perubahan keseimbangan air dan energi permukaan tanah serta perubahan suhu ekstrem zona tata-guna lahan ekstensif (Pielke Sr. et al., 2002; Kalnay et al., 2003; Kueppers et al.,2007; Chen et al., 2018; Chen et al., 2020).

Baca juga: Walhi Kritik Pemprov Bali, Sebut Banjir Terjadi akibat Alih Fungsi Lahan

Tata guna tiap lahan dan buka-tutup lahan termasuk unsur pokok strategi negara menyejahterakan rakyat serta mitigasi dan cegah perubahan iklim dan pemanasan global. Aturan dan kebijakan tata guna lahan harus sesuai sejarah, tradisi, dan karakter per daerah. Misalnya, kawasan Indonesia bagian timur adalah zona enau, kelapa, aren, rempah, bukan kelapa sawit.

Alam merekam jejak ekologis

Sejak 1970-an para ahli, misalnya Caldwell (1970:203), riset Greiner (1974: 6-10) di Kanada, studi empirik Ellis (2017:1) pengaruh tata-guna lahan terhadap perubahan ekologis 12.000 tahun terakhir di seluruh dunia, mengusulkan kebijakan lahan tiap negara harus merujuk kriteria karakter ekosistem suatu wilayah. Begitu pula hasil riset empirik Dislich et al. (2017:1) menemukan perubahan tata-guna lahan untuk kelapa sawit di Riau (Sumatera) telah mengubah fungsi sosial-ekonomi dan ekologis lansekap tropis.

Karakter zona timur Indonesia adalah karakter fauna dan flora Australia; sedangkan zona barat Indonesia adalah fauna dan flora karakter Asia; inilah keunggulan Bhinneka Tunggal Ika Negara-Bangsa Indonesia. Maka program nasional dan program daerah bidang tata guna lahan atau alih fungsi lahan jangan menerabas karakter per daerah yang telah terbentuk oleh seleksi alam selama ratusan bahkan ribuan tahun.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mesti terapkan strategi bio-ekonomi sesuai karakter per daerah kini dan ke depan.

Tanah dan air sangat stategis bagi survival, pertahanan-keamanan, dan sehat-sejahtera suatu bangsa. Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memasukan ketentuan khusus Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 : Bumi dan air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Baca juga: Studi: Manusia Merusak Siklus Karbon Bumi Lebih Parah dari Asteroid

Siasat membangun negara juga selalu berkenaan dengan sesuatu yang bernyawa yakni rakyat dan tanah-air lingkungan hidup. Kekuatan inti negara-bangsa ialah rakyat dan tanah-air lingkungannya.

Begitu filosofi dasar (geistlichen hintergrund) pendiri negara-bangsa Indonesia, misalnya Ir Soekarno, Ketua Panitia Hukum Dasar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) dan Prof Dr Soepomo, anggota BPUPKI pada tahun 1945 di Jakarta.

Karena itu, tanah dan air harus betul-betul dikelola dan difungsikan secara hikmat-bijaksana. Perilaku korup bahkan perang sangat mudah direkam oleh habitat alam.

Jejak ekologis kegiatan manusia direkam oleh habitat alam. Misalnya, manusia mengubah siklus hidrologis pada satu lahan, guna menyediakan air-segar irigasi, industri, atau konsumsi masyarakat (Postel et al, 1996:271, 785; Vorosmarty et al., 2000:284, 289). Begitu pula jika lahan-tanah dijadikan tempat perang, jejak ekologisnya lazim gersang.

Era abad 20 M, kita saksikan: lahan-tanah melayani program-program ‘modernisasi’. Kini lahan bukan lagi melayani modernisasi, tetapi melayani upaya dan program mencegah risiko polusi, degradasi sumber daya alam dan penipisan atau deplesi sumber alam (Angel et al., 2005; York et al., 2012).

Pieterse (2010:1) bahkan menyimpulkan, “modernity no longer seems so attractive in view of ecological problems” atau modernisasi tidak lagi memiliki daya tarik, karena risiko lingkungan sejak akhir abad 20. Sebab tata-guna lahan dan buka- tutup lahan selama ini selalu berisiko memicu kemerosotan keragaman-hayati akibat kepunahan, modifikasi, dan fragmentasi habitat alam, degradasi tanah dan air, serta eksploitasi spesies-spesies natif atau setempat (Pimm et al., 2000:403).

Paduan agrikultur dan konservasi atau CA

Tata-guna lahan melayani kebutuhan pangan dan sumber energi serta mengurangi risiko lingkungan (Foley et al., 2011), pemanasan global, perubahan iklim (Lobell & Burke, 2010; Meyfroidt, et al, 2013: 2), kebutuhan transportasi, infrastruktur, energi, eko-inovasi, dan migrasi penduduk. Maka pilihannya antara lain paduan agrikultur dan konservasi (conservation agriculture / CA) dari Food Agriculture Organization (FAO) awal abad 21.

Ciri pokok CA selama ini ialah (1) minimum gangguan (disturbance) terhadap tanah; (2) penutup tanah organik secara permanen; dan (3) siklus atau rotasi keragaman tanaman. Manfaatnya antara lain melindungi fisik tanah dari risiko curah hujan, angin, dan matahari, dan menyediakan substrat tanah biota.

Di Brasil, CA disebut ‘ZT sustainable agriculture’ (ZT pertanian-sehat-lestari ); CA berbeda dengan ‘organic farming’, walaupun sama-sama menerapkan proses alamiah tanah (di bawah tanah dan di atas tanah); CA tidak menggunakan input kimia, khususnya pupuk dan herbisida. CA juga dikembangkan di Amerika Serikat (AS) dan Australia (Derpsch, 2005).

Riset Bolliger et al. (2006) menemukan, CA Brasil sangat berkembang dari 1.000 ha tahun 1973 -1974 hingga 22 juta ha tahun 2003- 2004 atau 45 persen dari total area budidaya di Brasil.

Awal abad 21, model-model CA dikembangkan oleh petani skala kecil dalam sistem pertanian padi-gandum Dataran Indo-Gangetic di Asia (Hobbs & Gupta, 2002), sekitar 100.000 petani di Ghana (Ekboir et al., 2002), 10 persen petani kecil di Zambia (Baudron, 2005) dan uji-coba jangka panjang pola ZT Brasil di Nigeria akhir abad 20 (Lal, 1998).

Uji-coba CA di Ethiopia, Kenya,Tanzania dan Zimbabwe meningkatkan 20-120 persen hasil
pertanian tadah hujan petani (Rockstrom et al., 2007). Uji-coba CA padi-gandum di Asia Selatan fokus pada peningkatan kapasitas fisik dan sifat kimia tanah dan keanekaragaman biotik tanah (Hobbs, 2007). Hasilnya, biaya produksi berkurang; hasil pertanian meningkat; hama dan penyakit berkurang serta sehat ekosistem lahan (Bot et al. 2001, 2005). Tanah adalah pusat vegetasi yang sangat strategis bagi upaya-upaya kendali perubahan iklim dan pemanasan global serta penyediaan kebutuhan pangan dan energi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com