Menurut Wallander, kedua buku ini tidak berdebat. Meskipun Timothy Frye berfokus pada cengkeraman rezim pada masyarakat dan Kathryn E Stoner pada kemampuannya di luar negeri, mereka sampai pada kesimpulan umum: tindakan, tujuan, kekuatan, dan kelemahan Rusia berakar pada otokrasi personalistik yang telah terkonsolidasi sejak pemilihan Putin pada tahun 2000. Putinisme adalah sumber kebangkitan Rusia sekaligus biang kerentanan terbesarnya bagi demokrasi kawasan maupun dunia.
Sorotan kedua penulis itu sangat mengena. Pasalnya, Bank Dunia mencatat, dari tahun 2003 hingga 2008, ekonomi Rusia rata-rata tumbuh 7 persen per tahun. Namun, sebagian besar sumber daya ekonomi dimanfaatkan Putin untuk memuaskan para elite rakus, dan sisanya untuk publik.
Oleh karena itu, saat krisis ekonomi global 2008, sanksi internasional yang diberlakukan sejak pencaplokan Crimea tahun 2014, dikombinasikan dengan korupsi akut, dan perilaku bisnis predator, ekonomi Rusia segera berubah menjadi rapuh. Semenjak itu dinamika politik, ekonomi, dan sosial Rusia beroperasi di bawah bayang-bayang figur Putin yang dilabeli sebagai orang kuat yang lemah (strongman weak).
Memasuki tahun 2018, kondisi internal Rusia semakin memanas. Protes pecah di lebih dari 80 kota besar dan kecil.
Menurut Levada Center (2021), Rusia hampir terbagi rata mengenai apakah negara itu berada di jalur yang benar (dengan 49 persen setuju dan 41 persen tidak setuju) menjelang pemilihan legislatif 2021. Persentase tersebut merupakan perubahan substansial dari 2018, ketika angka-angka perbandingannya 60 dan 25 persen.
Melihat tren kepercayaan publik yang kian melemah Putin yang kalut berusaha mengeskpose kekuatan militer Rusia guna mencitrakan diri sebagai pemimpin yang kuat dan negara Rusia yang ‘besar’.
Sementara itu, ia juga mulai tampil sebagai sosok yang tak segan membungkam kebebasan berbicara, melarang kritik sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Bahkan, pada Agustus 2020 meracuni tokoh oposisi politik paling vokal di Rusia, Alexei Navalny.
Dalam hubungan dengan luar negeri Putin semakin aktif berkolaborasi dengan sesama rezim diktator dari negara lain seperti Belarus, Venezuela, China dan Myanmar.
Baca juga: Invasi Rusia Diyakini Tak Akan Terjadi jika Ukraina Masih Punya Senjata Nuklir
Putin juga mencoba meraih kembali pengaruhnya atas tetangganya, Ukraina. Untuk maksud itu, Putin menyebarkan informasi palsu dan menuduh bahwa Ukraina telah disusupi oleh para ekstremis, sejak presidennya yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, digulingkan pada 2014.
Informasi palsu dan tuduhan tersebut dijadikan alasan untuk merebut wilayah selatan Crimea dan memicu pemberontakan di timur, mendukung separatis yang telah memerangi pasukan Ukraina dalam perang yang merenggut 14.000 nyawa.
Rusia juga telah lama menolak langkah Ukraina menuju Uni Eropa dan aliansi militer defensif Barat, NATO. Dengan alasan seperti itu Putin kemudian tanpa rasa malu mengumumkan invasi militer di Ukraina, pada 24 Februari 2022.
Putin boleh jadi tak menyadari bahwa keputusan menginvasi Ukraina memperburuk citra negatif Rusia dan label dirinya sebagai strongman weak. Di mata dunia, aksi invasi tersebut menegaskan kembali posisi rezim Kremlin Rusia yang tak menghormati Ukraina sebagai negara merdeka, berdaulat dan berdemokrasi; sebagai negara yang sedang membangun peradaban di atas landasan kemanusiaan.
Sebagai bangsa merdeka, berdaulat dan berdemokrasi, kita mengutuk keras invansi Rusia ke Ukraina, dan mendesak Rusia supaya segera mengakhiri invasinya. Sebagai sesama umat manusia, kita semua berutang budi kepada bangsa Ukraina. Sebab mereka mengingatkan kita bahwa kemanusiaan, kemerdekaan, kedaulatan dan demokrasi itu penting untuk dibela.
Terakhir, mereka juga mengingatkan kita bahwa di era berita palsu dan fakta alternatif ini, kebenaran masih penting.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.