KOMPAS.com - Ketidakpatuhan Indonesia terhadap program test doping plan (TDP) yang ditetapkan Badan Antidoping Dunia atau Wolrd Anti-Doping Agency (WADA) membuat Indonesia mendapatkan sanksi.
Sanksinya, Indonesia tak boleh mengibarkan Merah Putih dalam ajang olahraga internasional.
Hal itulah yang terjadi saat penyerahan Piala Thomas yang dimenangkan tim Indonesia pada Thomas Cup 2020 di Denmark, beberapa hari lalu.
Sanksi lainnya, atlet juga tidak boleh membawa nama negara di ajang internasional apa pun.
Baca juga: Mengenal WADA, Badan Antidoping Dunia yang Jatuhkan Sanksi untuk Indonesia
Eks Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dari PP Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), dr Michael Triangto, mengatakan, doping merupakan segala sesuatu baik zat maupun metode yang dengan sengaja dapat menigkatkan prestasi, tetapi tidak melalui proses pelatihan yang dilakukan.
"Jadi ada cara-cara tertentu yang dapat meningkatkan prestasi seseorang, atau menutup kekurangan yang ada. Sehingga yang bersangkutan dapat menang," ujar Michael saat dihubungi Kompas.com, Senin (18/10/2021).
Ia mengatakan, penggunaan doping tidak disarankan karena cenderung lebih banyak dampaknya daripada manfaatnya.
Dampak seorang atlet yang menggunakan doping yakni membuat beban kerja jantung dan ginjal lebih berat, hingga kematian.
Michael mengaku memahami tes doping yang diselenggarakan oleh WADA.
Sebab, dokter spesialis olahraga wajib mengetahui hal ini.
"Jadi, prosesnya itu pada setiap pertandingan yang terakreditasi oleh WADA, seperti Olimpiade itu, pasti juara 1-3 diambil tes (doping)-nya," ujar Michael.
Petugas atau tim yang ditugaskan untuk mengambil sampel doping akan memilih atlet secara random untuk turut melakukan tes doping.
Hal ini dilakukan karena tim menilai atlet tersebut diduga menggunakan doping.
"Enggak ada keterangan apa pun, atau orang-orang yang memang dicurigai (menggunakan doping)," lanjut dia.
Baca juga: Apa Kesalahan Indonesia hingga Dapat Sanksi dari WADA Badan Antidoping Dunia?
Kemudian, tim mengambil sampel urine pada atlet dan membaginya menjadi 2 botol terpisah dan dinamai sampel A dan sampel B.
Michael mengatakan, sampel A adalah sampel yang langsung diperiksa apakah betul seorang atlet menggunakan doping atau tidak.
Pemeriksaan ini juga dilakukan dengan persetujuan tanda tangan dari atlet, dilihat oleh saksi, penulisan nomor, sehingga tidak mungkin sampel ditirukan atau dimanipulasi.
"Sampel A itu akan diperiksa semua bahan-bahan yang dianggap dapat berpotensi jadi doping untuk kecurangan," ujar Michael.
Menurut dia, jika hasil pemeriksaan menunjukkan positif doping, maka nama atlet akan diumumkan.
Kemudian, petugas akan menanyakan apakah betul atlet menggunakan doping atau mengonsumsi suplemen/vitamin yang menyebabkan hasil pemeriksaan jadi positif.
Michael menjelaskan, obat flu dapat membuat tes doping seorang atlet menjadi positif.
Sebab, di dalam obat flu ini ada etil-propanol-amin yang membuat flu sembuh.
"Nah itu sama seperti golongan simptometik yang dapat menimbulkan doping dan ini enggak bisa dipisahkan, maka dianggapnya doping," jelas Michael.
Oleh karena itu, saat diperiksa, atlet harus menyebutkan apa yang diminum dan dikonsumsi selama ini, apakah itu vitamin dan suplemen.
Lantaran sanksi yang akan didapat sangat berat, di sini peran dokter olahraga sangat penting.
Mereka tidak akan sembarangan memberikan vitamin, obat-obatan, terutama yang mengandung doping kepada atlet.
Sebab, jika hasil tes positif, maka akan menyusahkan atlet, pengurus cabang olahraga, dan negara.
"Karena namanya akan dimasukkan dalam daftar atlet yang menggunakan doping," ujar Michael.
"Sehingga dia dicoret, termasuk dokternya yang memberikannya pun harus bertanggung jawab. Jika sengaja memberikan doping maka jadi tersangka," lanjut dia.
Saat hasil tes menunjukkan positif doping, Michael mengatakan, petugas akan meminta pengakuan atlet tersebut.
Jika sang atlet tidak mengaku, maka akan diajukan banding.
Saat banding, atlet boleh mengajukan keberatan karena tidak memakai doping.
Selanjutnya, petugas akan membuka sampel B. Sampel B diambil dengan waktu yang bersamaan dengan sampel A.
Pembukaan sampel ini disaksikan juga oleh atlet.
"Karena isinya sama kan, kalau positif berarti dia harus kena sanksi. Kalau sampel B negatif dia bebas, biasanya hasil antara sampel A dan sampel B itu sama," ujar Michael.
Michael mengatakan, hasil tes doping ini baru akan muncul dalam 2 minggu hingga 1 bulan.
Jika atlet itu sudah dinyatakan sebagai pemenang, bisa saja kemenangan itu dicabut karena ternyata ada atlet yang positif doping.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.