Ketiga, Partai Komunis Indonesia yang merapat ke Bung Karno.
Ide Ahmad Yani, Partai Katolik perlu memiliki sebuah media untuk mengimbangi kekuatan PKI.
Ojong dan Jakob kemudian bersepakat mendirikan sebuah koran yang diharapkan menjadi sebuah jalan tengah.
Meskipun lahir dari inisiatif tokoh Partai Katolik, koran itu bukanlah corong partai. Koran itu harus berdiri di atas semua golongan, oleh karena itu harus bersifat umum, didasarkan pada kenyataan kemajemukan Indonesia, harus menjadi cermin realitas Indonesia, mengatasi suku, agama, ras, dan latar belakang lainnya.
“Dia harus mencerminkan miniaturnya Indonesia,” kata Jakob.
Mulanya, nama yang dipilih andalah “Bentara Rakyat”. Artinya, koran itu memang dimaksudkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia rakyat. Motonya pun dipilih “Amanat Penderitaan Rakyat”.
Saat Frans Seda bertemu Bung Karno, Si Bung Besar tidak setuju dengan nama “Bentara Rakyat”.
Bung Karno berkata, “Aku akan memberi nama yang lebih bagus...”Kompas”! Tahu toh, apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba!”.
Jadilah nama pemberian Bung Karno itu digunakan sebagai nama koran hingga sekarang.
Dalam perjalanan membesarkan Intisari dan Kompas, Jakob dan PK Ojong berbagi tugas. Jakob mengurusi editorial, sementara PK Ojong bisnis.
Namun kemudian, situasinya menjadi tidak mudah bagi Jakob. Setelah 15 tahun kebersamaannya dengan PK Ojong membangun Kompas, PK Ojong meninggal mendadak dalam tidurnya tahun 1980.
Kepergian PK Ojong meninggalkan beban berat di pundak Jakob. Jika selama ini konsentrasinya mengurusi bidang redaksional, ia kini juga harus mengurusi aspek bisnis.
"Kelebihan saya adalah saya tahu diri tidak tahu bisnis,” ujar Jakob.
Sikap dasar ini yang kemudian mengembangkan Kompas Gramedia yang dirintisnya bersama PK Ojong.
Menatap dua patung perintis lebih detail saya mendapati tulisan "Providentia Dei" di sisi kiri patung Jakob Oetama dekat dengan saku berisi pena.
Kalimat itu meringkaskan rentang perjalanan Kompas Gramedia sampai hari ini. Semua terjadi karena penyelengaraan Ilahi.
Dua patung tembaga di jantung Bentara Budaya Jakarta mengingatkan hal ini.
Salam syukur.
Wisnu Nugroho.