Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnu Nugroho
Pemimpin Redaksi Kompas.com

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Berikan yang Terbaik, Juga Saat Tahu Akan Dikecewakan

Kompas.com - 31/08/2021, 07:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Hai, apa kabarmu?

Semoga sehat dan mulai bisa menata diri dengan perubahan yang dimungkinkan karena membaiknya sejumlah indikasi terkait pandemi.

Beberapa hari terakhir ini, setelah menahan diri tidak beraktivitas di luar rumah untuk pekerjaan, saya melakukan perjalanan ke Yogyakarta.

Perjalanan ke Yogyakarta saya tempuh sekitar tujuh jam dari tempat saya tinggal di Tangerang Selatan.

Halusnya jalan tol dan lalu lintas yang lancar meskipun cukup ramai, membuat perjalanan sekitar 585 kilometer nyaris tanpa hambatan.

Hambatan wajar dan berulang saya dapati setelah keluar Gerbang Tol Colomadu sampai Kota Yogyakarta yaitu lampu pengatur lalu lintas dan kendaraan atau orang yang menyeberang. Hambatan lain tidak ada.

"Polisi" yang ditidurkan berbaris-baris di depan markas tentara di jalan raya nasional di Kartasura, Jawa Tengah tidak saya lihat sebagai hambatan. 

Karena sudah melintasinya puluhan tahun, saya sudah memakluminya. Begitulah kelakuan umum mereka yang berkuasa. Itu kesimpulan saya.

Meskipun ada alternatif jalan lain menuju Yogyakarta seperti Boyolali, saya kerap memilih jalur Kartasura. Saya ingin merawat kesadaran saya akan kelakuan umum para pengusa.

Juga ketika nanti pemerintah melanjutkan pembangunan jalan tol dari Solo sampai Yogyakarta, jalur Kartasura akan tetap jadi pilihan saya.

Sekali lagi, saya ingin merawat kesadaran saya soal kelakuan umum para penguasa.

Karena adanya peluang merawat kesadaran ini, terima kasih markas tentara di Kartasura. Juga markas-markas tentara lainnya yang latah mengikutinya.

Oya, perjalanan ke Yogyakarta ini adalah perjalanan saya yang terunda.

Karya seniman Eko Nugroho yang dipamerkan di Artjog 2021. Karya seniman Eko Nugroho yang dipamerkan di Artjog 2021.
Perjalanan yang rencananya dilakukan awal Juli 2021, tertunda karena kedaruratan pendemi dan ancaman kesehatan dan keselamatan yang begitu tinggi dan merata.

Setelah adanya perbaikan situasi pandemi dan level PPKM sejumlah daerah diturunkan berdasarkan data, perjalanan ke Yogyakarta saya lakukan.

Tentu saja perjalanan ini dilakukan dengan kehati-hatian, memastikan diri sendiri sehat dan aman dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan.

Disiplin ini tidak hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang saya jumpai. Kebaikan diri sendiri dan orang lain kini menjadi perhatian dan prioritas bersama.

Oya, selama di Yogyakarta, saya dan tim menyiapkan meteri untuk Season 3 Beginu.

Season 1 berisi 15 episode yang dimulai sejak 28 Oktober 2021 sudah tayang di Youtube dan Spotify.

Season 2 berisi 15 episode sudah tayang di Youtube dan segera semua di Spotify.

Season 3 berisi 15 episode, sedang dalam persiapan ini. Season 3 akan menampilkan percakapan dengan sejumlah tokoh yang mewarnai era 1990 akhir dan awal 2000 yang khas.

Sejumlah tokoh itu ada di Yogyakarta. Di antara mereka adalah grup musik Shaggydog yang terdiri dari Heruwa, Bandizt, Richard, Raymond, Lilik, dan Yoyok.

Kami bertemu di Sayidan yang menjadi sangat terkenal karena mereka. Kami ngobrol dan tentu saja bersuka ria.

Semangat era peralihan ke milenium yang diwarnai kejadian sosial politik yang berdampak hingga sekarang kami percakapkan. Juga tentang hal-hal yang tidak berubah dan perlu diperjuangkan sampai sekarang.

Untuk topik terakhir ini, saya bercakap-cakap dengan aktivis 1998 yang merawat semangat 98 tidak padam dengan tetap aktif di dunia kepenulisan: Puthut EA.

Kami mengenali sejumlah indikasi yang mengingatkan situasi 1998 dan respons sejumlah pihak atas situasi itu. Ada sejumlah kemiripan.

Yang menyenangkan, ada kecerdasan dan kejenakaan mereka yang melakukan perlawanan. Juga di tembok-tembok di jalan-jalan dan sekarang ditambah dan disangatkan di media sosial.

Mural kritik di kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (24/8/2021). Antaranews.com/Galih Pradipta Mural kritik di kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (24/8/2021).
Semangat zaman ini tentu saja layak diharapkan dari generasi yang kerap dicap cenderung negatif secara sepihak sebagai generasi rebahan.

Sekadar peringatan, perlawanan dan perubahan untuk perbaikan bisa juga dilakukan sambil rebahan. Ini terbukti berulang-ulang dengan sarana media sosial. 

Namun, untuk corat-coret di tembok-tembok milik publik, ada kritik dari dalam yang disampaikan. Kritik itu layak didengarkan.

Maraknya coret-coretan di tembok-tembok di jalan-jalan dan ruang publik lainnya yang kini seperti "dilombakan" tidak produktif lagi sebagai penyampai pesan.

Saya becakap-cakap soal kritik ke dalam ini dengan Digie Sigit, perupa yang membuat street art di banyak kota di dalam dan luar negeri sejak akhir 1990-an.

Sigit yang menggunakan teknik stensil untuk menyampaikan pesan di tembok-tembok mengatakan, "perlombaan" itu tidak produktif karena cuma jadi ajang buat sensasi, asal-asalan dan tanpa mengindahkan estetika yang hendak diberikan kepada publik.

Street art seolah-olah hanya jadi alat politik. Sigit menyebut, apa yang sekarang terjadi mendistorsi nilai street art.

Sigit memberi beberapa contoh "perlombaan" yang justru menjadi sampah visual dibungkus street art seperti gambar seksis dan kata-kata kasar tidak pantas di depan sekolah dasar di Kota Yogyakarta.

Saat bercakap-cakap, Sigit baru kembali dari Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo untuk mendukung warga yang menolak rencana pertambangan.

Street art dengan teknik stensil karya perupa Digie Sigit tahun 2017 di salah satu bidang tembok di Jogja Nasional Museum. Karya berusia empat tahun berjudul ...bukankah semua milik anak-anak kita? ini masih hadir dan bisa dinikmati, Senin (30/8/2021).  Street art dengan teknik stensil karya perupa Digie Sigit tahun 2017 di salah satu bidang tembok di Jogja Nasional Museum. Karya berusia empat tahun berjudul ...bukankah semua milik anak-anak kita? ini masih hadir dan bisa dinikmati, Senin (30/8/2021).
Bersama teman-temannya, Sigit berencana meng-counter "perlombaan" yang dijumpainya di Kota Yogyakarta.

Koordinasi tengah dilakukan agar tidak terprovokasi dengan corat-coret yang mengaku sebagai mural.

Semua itu dilakukan sebagai ungkapan hormatnya kepada publik yang ruangnya dipinjam untuk percakapan.

Persis seperti selama belasan tahun ini ia dan teman-temannya lakukan di tembok-tembok dan ruang-ruang publik di jalan-jalan yang cenderung diabaikan.

Untuk itu butuh ketenangan, butuh pengendapan agar pesan tersampaikan. Dengannya,  publik dimenangkan dan dimuliakan di ruang yang sedang dipinjam.

Berikan yang terbaik, juga saat tahu akan dikecewakan.

Begitu saya mendapat pesan dari jalanan. 

Salam jalanan,

Wisnu Nugroho

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com