Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gelombang Pengungsi dari Afghanistan dan Respons Internasional

Kompas.com - 23/08/2021, 19:05 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pengambilalihan kekuasaan di Afghanistan yang dilakukan oleh kelompok militan Taliban menyisakan banyak permasalahan.

Seperti diketahui, Taliban sukses mengambilalih kekuasaan dan menduduki ibu kota Afghanistan, Kabul, pada 15 Agustus 2021.

Ratusan ribu warga Afghanistan yang tidak menginginkan Taliban berkuasa telah mencoba meninggalkan negara itu. Eksodus bahkan sudah dimulai sejak awal tahun 2021.

Melansir The Washington Post, Minggu (22/8/2021), Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat hampir 400.000 orang telah meninggalkan Afghanistan sejak awal tahun ini.

Mereka mengikuti jejak 2,9 juta warga Afghanistan lainnya yang telah meninggalkan negara itu pada akhir tahun 2020.

"Kami melihat adanya eksodus besar-besaran dalam situasi krisis kemanusiaan ini," kata Christopher Boian, pejabat komunikasi senior UNHCR, kepada The Washington Post, pekan ini.

Eksodus ini membuat negara tetangga Afghanistan serta negara-negara lain di seluruh dunia, kini bersiap untuk menghadapi masuknya pengungsi dalam skala besar.

Baca juga: Ke Mana Pengungsi Afghanistan Pergi Setelah Negara Dikuasai Taliban?

12.000 orang sudah keluar dari Afghanistan

Melansir The Guardian, Sabtu (21/8/2021), sedikitnya 12.000 orang telah keluar dari Afghanistan melalui Bandara Kabul.

Orang-orang itu terdiri dari pegawai pemerintahan negara-negara Barat, orang-orang yang bekerja untuk Non Governmental Organization (NGO), serta penduduk Afghanistan yang bekerja untuk pemerintahan negara-negara Barat.

Orang-orang dengan risiko tinggi menerima persekusi dari Taliban juga turut dievakuasi, seperti jurnalis, penerjemah, atau aktivis hak asasi manusia (HAM).

Mayoritas dari orang-orang itu, sekitar 7.000 orang, diterbangkan keluar dari Kabul menggunakan pesawat kargo milik militer Amerika Serikat.

Negara Barat lainnya, seperti Inggris, menyatakan telah mengevakuasi 1.200 orang dari Afghanistan pada 18 Agustus 2021.

Pada 20 Agustus 2021, Jerman menyatakan telah mengangkut sekitar 1.700 orang dari Afghanistan

Adapun Turki menyatakan telah mengevakuasi 550 orang, sedangkan Perancis dan Italia, masing-masing menyatakan telah mengevakuasi sekitar 500 orang.

Negara-negara lain yang turut melakukan evakuasi dari Afghanistan termasuk Australia, Kanada, Republik Ceko, Denmark, Polandia, dan Swiss.

Mengenai tempat tinggal bagi para pengungsi, Amerika Serikat telah berjanji akan menerima 10.000 orang dari Afghanistan. Sementara itu, Australia menyatakan bahwa mereka akan menerima 3.000 orang dari Afghanistan.

Bulan lalu, negara tetangga Afghanistan, Tajikistan, mengaku siap menampung 100.000 orang yang meninggalkan negara tetangganya itu.

Baca juga: Lembah Panjshir, Satu-satunya Wilayah Afghanistan yang Sulit Ditaklukan Taliban, Soviet hingga Inggris

Eropa keberatan

Menyediakan tempat tinggal bagi para pengungsi dari Afghanistan menjadi persoalan pelik, terutama bagi negara-negara Eropa yang masih belum pulih akibat krisis pengungsi Suriah pada 2015.

Melansir Al Jazeera, Minggu (22/8/2021), para pemimpin Eropa berupaya keras untuk menghindari masuknya pengungsi dalam skala besar ke wilayah mereka.

Pengecualian diberikan bagi penduduk Afghanistan yang telah bekerja atau membantu negara-negara Barat selama perang 20 tahun yang berlangsung di Afghanistan.

Namun, bagi penduduk Afghanistan yang tidak termasuk kelompok itu, pesan yang diberikan jelas: "Jika anda harus pergi, silakan pergi ke negara tetangga, tapi jangan ke sini".

Pekan lalu, Menteri Dalam Negeri Austria Karl Nehammer membuat pernyataan yang mewakili pemikiran dari banyak pemimpin Eropa lainnya.

"Menjaga orang-orang (Afghanistan) itu tetap berada di wilayah mereka harus menjadi tujuan kita," kata Nehammer.

Austria telah mengusulkan pembentukan "pusat deportasi" di negara-negara tetangga Afghanistan, sehingga negara-negara Eropa bisa memulangkan warga Afghanistan yang pengajuan suakanya ditolak.

Bahkan, Jerman, yang sejak 2015 telah menerima lebih banyak pengungsi Suriah daripada negara Barat lainnya, mengirimkan sinyal yang berbeda saat ini.

Beberapa politisi Jerman, seperti Armin Laschet, yang merupakan kandidat pengganti Angela Merkel sebagai kanselir, telah memperingatkan bahwa krisis migrasi tahun 2015 tidak boleh terulang kembali.

Sementara itu, Presiden Perancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa Eropa tidak dapat menanggung konsekuensi dari situasi di Afghanistan sendirian.

Menurut Macron, Eropa harus mengantisipasi dan melindungi diri dari arus migrasi tidak teratur yang signifikan.

Turki juga keberatan

Perasaan berat hati untuk menerima pengungsi dari Afghanistan tidak hanya disampaikan pemimpin negara-negara Eropa.

Presiden Turki Recep Tayip Erdogan mengatakan, negaranya tidak memiliki kewajiban maupun tanggung jawab untuk menerima pengungsi yang ditolak oleh Eropa.

“Turki tidak memiliki tugas, tanggung jawab, atau kewajiban untuk menjadi gudang pengungsi Eropa,” kata Erdogan dalam sebuah pernyataan pada 19 Agustus 2021.

Turki saat ini telah menampung 3,6 juta pengungsi dari Suriah dan ratusan ribu pengungsi dari Afghanistan.

Para imigran dari Suriah dan Afghanistan, yang pernah diperlakukan sebagai saudara, kini mulai dipandang sebagai "beban" oleh masyarakat, seiring dengan meningkatnya inflasi dan pengangguran di Turki.

Erdogan yang memahami hal itu, menegaskan, pemerintahannya telah memperkuat perbatasan timur dengan Iran dengan menempatkan militer, polisi, dan tembok pembatas baru, yang telah dibangun sejak 2017.

Jurnalis Associated Press (AP) yang berada di dekat perbatasan Turki dengan Iran, melaporkan, ia menyaksikan puluhan pengungsi Afghanistan minggu ini, kebanyakan pria muda, tetapi juga beberapa wanita dan anak-anak.

Para pengungsi itu diselundupkan melintasi perbatasan pada malam hari dalam kelompok-kelompok kecil.

Para pengungsi itu mengungkapkan bahwa mereka terpaksa meninggalkan negara mereka untuk melarikan diri dari Taliban, kekerasan, dan kemiskinan.

“Situasi di Afghanistan sangat intens,” kata seorang pemuda, Hassan Khan.

“Taliban merebut seluruh Afghanistan. Tapi tidak ada pekerjaan di Afghanistan, kami terpaksa datang ke sini,” ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com