Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Greg Teguh Santoso
Versatilist dan Auditor Sistem Manajemen

Sedang menyelesaikan studi S3 di Taiwan sembari menjadi pengajar di beberapa universitas.  Seorang versatilist yang gemar bertualang di dunia maya dan berkolaborasi di dunia nyata, membaca, mengajar, dan menulis. Mari mampir, tegur-sapa di versatilistmilenial2020@gmail.com.

Pandemi Covid-19, antara Absurditas dan Harapan

Kompas.com - 16/07/2021, 10:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ANGKA kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat hari-hari belakangan ini. Bahkan Indonesia sempat mencatatkan jumlah kasus harian terbanyak juga kematian harian terbanyak mengatasi India.

Baca juga: Update Corona 13 Juli: Angka Kasus dan Kematian Harian Indonesia Terbanyak di Dunia

Di sisi lain, masih saja ada yang tidak percaya keberadaan virus mematikan ini dengan beragam argumen dan sudut pandang. Mulai dari musisi Jerinx yang sudah dipenjara dan kini dilaporkan kembali hingga dokter Lois Owein yang jadi tersangka penyebaran berita bohong.

Baca juga: Polisi Tetapkan Dokter Lois sebagai Tersangka Kasus Penyiaran Berita Bohong soal Covid-19.

Bagi masyarakat kebanyakan, berseliwerannya ragam penyikapan atas bencana Covid-19 ini tentu telah, sedang, dan akan terus menebalkan kebingungan.

Pada umumnya, meruaknya wabah penyakit adalah sesuatu yang menakutkan, mengerikan, merasa tak berdaya, dan membiakkan kecemasan akut bagi sebagian besar orang.

Terlebih kabut ketidakjelasan masa depan makin pekat. Kecemasan diperkaya kebingungan dan ketidakpastian, dibumbui spekulasi dan kekalutan, serta disebar-luaskan secara masif melalui beragam kanal media, baik media sosial maupun media mainstream.

Absurditas makin mekar. Ketiadaan dari suatu kenyataan, kejelasan dan kepastian dapat dikatakan sebagai absurditas menurut filsuf dan novelis kelahiran Aljazair, Albert Camus.

Absurditas berada tepat di tengah jalinan kontradiksi. Ia akan tampak saat kontradiksi terus diolah oleh nalar dan ketika nalar tidak dapat menyatukan dan/atau merangkai hal–hal tersebut menjadi suatu pemahaman logis.

Dalam banyak kejadian, manusia memutuskan nilai dari akibat yang ditimbulkan. Namun, saat akibat dari kontradiksi tersebut belum dapat diolah oleh nalar maka absurditas lahir tepat di antaranya.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa absurditas mustahil berada di luar manusia dan dunianya. Ia mengikat manusia dengan dunianya, berinteraksi intens tanpa putus. Misalnya, saat realitas dan idealisme bertabrakan.

Saat bertemu dengan sesuatu yang dianggap absurd, manusia pertama-tama akan mencari kebenaran atau kesalahan dari kondisi tersebut. Manusia akan mencari kepentingan yang terlihat ditawarkan oleh suatu kenyataan.

Apabila nalar belum menemukan jawaban, maka manusia itu mengambil tambahan data melalui akibat yang muncul dari kondisi tersebut.

Data dan pertanyaan dapat terkumpul dari apa yang didapat secara inderawi (empiris) untuk kemudian diolah oleh nalar (rasio).

Obyek yang menjadi pergulatan manusia dapat berupa suatu keadaan nyata, jelas, pasti yaitu realitas atau sebaliknya. Di saat jawaban belum ditemukan, absurditas tercipta.

Kendati demikian, kita tak perlu selalu alergi dengan absurditas karena ia tidak selalu bernilai negatif.

Absurditas bisa jadi hadir sebagai sesuatu yang bernilai positif karena dari rasa cemas itulah manusia dapat mempertanyakan identitas dirinya dan menyadari bahwa dirinya ada bersama yang lain, bukan subjek tunggal yang superior dan bisa bertindak semaunya.

Inilah esensi yang ditekankan Camus dalam beragam karyanya dan pemahaman inilah yang perlu ditumbuh-kembangkan di tengah kegalauan hidup kita saat ini.

Absurditas membawa kita secara kritis merenungkan kembali eksistensi diri sebagai subyek tunggal sekaligus mahluk sosial yang membutuhkan liyan.

Menyikapi absurditas

Menghadapi absurditas, manusia harus menentukan sikapnya. Demikian ditandaskan kembali oleh Sang Filsuf dan patut kita amini.

Keterasingan dalam diri manusia timbul karena kesepian yang disertai kejenuhan, takut, dan gelisah dikungkung ketidak-pastian.

Tatkala kita dilanda kesepian, jiwa kita kosong dan kita menjumpai diri ini dalam kondisi tak mampu berbuat sesuatu atau mengambil sikap selaku subyek (Jaspers dalam Hammersma, 1985).

Tenggelam dalam kehidupan absurd tersebut, manusia tinggal sendiri dalam kecemasan dan kegalauannya.

Keterbatasannya dalam mengambil tindakan dan keputusan-keputusan yang selalu menemui kegagalan itu melahirkan keterasingan diri (alienasi).

Demikianlah lingkaran setan tanpa ujung akan terus melingkupi bila kita tak mengambil sikap sebagai subyek yang tertinggi derajatnya di hadapan Sang Khalik.

Dalam karyanya, Camus menempatkan eksistensi manusia mewujud melalui kemampuan penduduk Oran untuk mengambil keputusan dan tindakan yang dibutuhkan guna menghadapi wabah penyakit sebagai bentuk nyata eksistensi mereka sebagai manusia.

Di tengah kegamangan, kebimbangan, dan kecemasan masyarakat, pilihan yang tersedia amat terbatas. Pilihan tersebut bermuara ke dua hal: mementingkan diri sendiri atau mementingkan kepentingan seluruh penduduk.

Tanpa pretensi menampilkan penilaian moral atas aneka perilaku tokoh-tokoh dalam cerita dan memberi kebebasan pilihan kepada pembaca untuk menyikapinya, Camus mempertegas pandangannya bahwa pergulatan manusia tampak dalam memilih suatu pilihan sikap dan tindakan tertentu sebagai sebuah wujud ke-ada-an dirinya.

Manusia harus siap tatkala harus berhadapan dengan pilihan-pilihan sosial yang seringkali tidak memberi ruang bagi masing-masing individu untuk memilih sebuah pilihan dan tindakan dengan bebas, seperti penerapan protokol kesehatan (prokes) atau penerapan PPKM.

Absurditas sebagai kontradiksi antara dunia irasional dengan keinginan manusia akan kejelasan mendorong manusia terus-menerus mencari kemenangan atas kemalangan, bencana dan tujuan hidupnya.

Dalam situasi ambang batas seperti ini, realita menjadi cermin diri, menuntut seseorang untuk segera mengambil pilihan, berkomitmen untuk mengambil suatu tindakan, serta berjuang mengatasi irasionalitas peristiwa yang dihadapi.

Dengan kata lain, absurditas menjadi kesempatan bagi seseorang untuk lebih jujur terhadap diri sendiri. Bila mesti berhadapan dengan kegagalan dalam proses pergulatan, manusia tidak harus hadir sebagai pahlawan kesiangan.

Dalam situasi sulit yang penuh dengan kecemasan, manusia sesungguhnya mendapat kesempatan untuk membuktikan ke-ada-annya melalui aneka macam pilihan dan tindakan yang diambil.

Kebebasan menjadi kesempatan manusia untuk melampaui situasi yang absurd. Dengan demikian, Camus seolah-olah mau mengatakan bahwa, “Kita bukan kaum sado-masokis yang justru menikmati penderitaan tanpa mencari jalan keluar. Kita harus melawannya dengan bersikap, dengan aksi nyata!”.

Trust, social kapital, dan hope

Pada titik ini trust adalah kata kunci, social capital adalah akarnya, dan kita sudah sejak lama tak merawatnya. Nyaris mati, mungkin.

Baca juga: Trust Level dan Efektivitas Penanganan Pandemi

Beragam kepentingan telah menyaru dan menyatu dalam jargon-jargon euforia demokrasi pasca reformasi 1998 demi melanggengkan diri.

Laksana bensin bersua nyala api, fenomena ini bercumbu-mesra dengan maraknya beragam penggunaan media sosial yang susah dibendung.

Jadilah hoaks makanan sehari-hari tanpa gizi bahkan meracuni benak khalayak. Edukasi perihal berbagai literasi digaungkan nyaris tanpa jeda sekaligus nyaris tanpa guna. Majal.

Mungkin bangsa ini perlu mengikuti yang disampaikan Camus, menjadikan absurditas sebagai jalan menekuri diri, menggalang kembali saling percaya diantara semua anak bangsa tanpa tedeng aling-aling, tanpa reserve, tanpa hidden agenda.

Dengan demikian, muncullah harapan (hope) atas mekarnya modal sosial yang selama ini layu guna dijadikan dasar penggalangan solidaritas bangsa menghadapi serbuan si virus.

Tak lagi centang-perenang mengikuti mau-nya sendiri hingga pelaksanaan prokes saja masih abai dan inkonsisten.

"A leader is a dealer of hope" demikian pernah ditandaskan Napoleon Bonaparte. Kiranya ungkapan itu mampu menggerakkan kita sebagai pemimpin keluarga, pemimpin RT, pemimpin dusun atau desa, hingga pemimpin negara untuk tiada hentinya menyalakan suar harapan di tengah gelapnya pandemi.

Tanpa solidaritas bersama amatlah terjal jalan yang harus kita lalui dalam hidup berdampingan bersama pandemi.

Mari hentikan saling menyalahkan dan menelanjangi sesama, eratkan modalitas sosial dan melalui kekelaman ini bersama sebagai suatu keluarga besar bangsa Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com