Sementara itu, sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menilai, pernyataan Risma perlu diklarifikasi lantaran bisa mengarah pada cultural appropriation.
Drajat mengatakan, pernyataan Risma bisa mengacu pada dua pengertian.
Pertama, menakut-nakuti atau memotivasi ASN yang tidak produktif dan malas-malasan untuk ditempatkan di tempat yang jauh dari kediamannya, atau jauh dari pusat-pusat kota.
"Mungkin itu adalah satu strategi untuk memotivasi dan memberikan sanksi kepada ASN yang tidak patuh," kata Drajat, kepada Kompas.com, Rabu (14/7/2021).
Namun Drajat juga menyebut, pernyataan Risma bisa mengarah pada cultural appropiration terhadap orang Papua.
Cultural appropriation terjadi ketika budaya dominan, mengambil atau menggunakan elemen budaya non-dominan tanpa memperhatikan makna dan konteksnya.
Baca juga: Amnesty International: Pernyataan Risma Mengandung Rasialisme dan Merendahkan Martabat Papua
Risma menurutnya dalam posisi ini mewakili budaya dominan, karena latar belakangnya sebagai orang Jawa dan memegang jabatan penting di pemerintahan pusat.
Akhirnya, cultural appropiration terjadi dalam bentuk pemindahan ASN yang tidak produktif ke tempat di mana budaya non-dominan berada.
"Menganggap bahwa Papua ini budayanya tidak bisa maju. Kemudian orang-orang yang kurang produktif dikirimlah ke sana," kata Drajat.
Risma bisa saja menegur ASN dengan memberi peringatan. Akan tetapi, menurut Drajat, penyampaiannya perlu lebih bijak.
"Cuma bahasa dan yang digunakan ini harus betul-betul bijak ya, karena kalau tidak nanti akan dianggap cultural appropriation itu tadi," imbuh dia.
Terkait ramai soal Risma yang akan memindahkan pegawainya ke Papua dijelaskan oleh pihak Kemensos RI
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Raden Harry Hikmat mengatakan, ungkapan Risma soal "pergi ke Papua" adalah untuk memotivasi jajarannya.
Baca juga: Risma Ancam Anak Buah Pindah ke Papua, Ini Kata Anggota DPR Dapil Papua