Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza AA Wattimena
Peneliti

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Airlangga, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Universitas Presiden, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Multimedia Nusantara.

Antara Bali, Panggilan Hati untuk Disembuhkan dan Pandemi

Kompas.com - 01/07/2021, 15:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bagi saya, Bali tak selalu istimewa di hati.

Pertama kali saya mengunjunginya pada tahun 1993. Perjalanan dilakukan bersama keluarga dan kerabat tercinta.

Yang teringat adalah adalah kumpulan pantai, hutan dan gunung yang tak bermakna. Samar-samar, teringat juga masa bermain dengan para monyet di Monkey Forest Ubud.

Perjalanan kedua terjadi pada 2006. Kali ini, teman-teman pergi menemani. Semua tetap sama, karena tak ada yang istimewa. Panasnya pantai Kuta menjadi satu-satunya yang teringat di kepala.

Perjalanan ketiga terjadi pada 2018. Inilah perjalanan yang mengubah hidup saya. Pesona Bali menjadi terasa jelas. Keagungan budaya dan alamnya menyentuh langsung ke dalam jiwa.

Ini terjadi, karena sejak 2014, saya mengalami perubahan besar di dalam diri. Filsafat dan ilmu pengetahuan Eropa yang begitu menuhankan akal budi kini sudah terlampaui.

Saya pun terbuka ada dimensi kehidupan yang lebih dalam, yakni dimensi tak bernama yang penuh cinta dan seluas semesta. Perubahan ini yang membuat saya begitu erat berpelukan dengan segala yang ada di Bali.

Di masa pandemi, tepatnya di 2021, Bali kembali memanggil.

Sudah terlalu lama ia mengetuk hati dan diabaikan oleh kesibukan. Keadaan memang tak ideal. Pandemi COVID 19, dan kegagalan pemerintah mengelolanya, menghantui tidak hanya Bali, tetapi seluruh dunia.

Namun, panggilan itu terus terasa di hati.

Pada 18 Mei 2021, saya berjalan berkeliling Gelora Bung Karno, Jakarta. Harapan saya sederhana, panggilan Bali yang berkobar bisa menjadi teduh oleh keringat di sana.

Namun, sebaliknya yang terjadi. Panggilan itu semakin menggetarkan jiwa.

Sorenya, saya menjalankan tes Covid-19. Hasilnya baik dan tangan langsung bergerak mencari tiket serta akomodasi di Bali. Tanggal 19 Mei 2021, jam 8 pagi, saya mendarat di Pulau Dewata. Ah, rasanya seperti pulang ke rumah.

Umat Hindu sedang melakukan upacara keagamaan di salah satu pura di Ubud, Bali.shutterstock.com/olegd Umat Hindu sedang melakukan upacara keagamaan di salah satu pura di Ubud, Bali.
Wangi dupa berkobar sepanjang jalan Denpasar, lalu Kuta dan menuju Ubud. Wanginya terasa seperti di surga. Semuanya seperti mengucapkan selamat datang kepada jiwa-jiwa yang sedang merana.

Yang ditawarkan hanyalah satu, yakni harapan untuk sembuh dari luka-luka yang mengoyak jiwa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com