Pada 17 Januari 1972, Letjen TNI Soemitro, Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib), melarang semua aktivitas gerakan anti-MII. Petugas juga menahan beberapa tokoh penentang MII seperti Arief Budiman dan Poncke.
DPR kemudian membentuk panitia khusus MII.
Panitia ini memanggil tokoh-tokoh penentang MII, perwakilan pemerintah dan YHK.
Mereka duduk bersama membahas sisi positif dan negatif pembangunan MII selama Maret 1972. Rapat pembahasan itu berkeputusan bahwa YHK boleh melanjutkan pembangunan MII.
Baca juga: Mengenal Taman Nasional Komodo...
Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia menuliskan, proyek itu boleh diteruskan dengan syarat tidak boleh menikmati fasilitas keuangan negara dan juga tak ada sumbangan wajib.
DPR meminta pemerintah membentuk badan pengawas untuk mengawasi aliran dana dan pembangunan MII. Di dalamnya termasuk tokoh budayawan dan intelektual.
Sejak saat itu suara protes terhadap MII senyap.
Baca juga: Mengenang Sosok Bung Hatta, dari Sepatu Bally hingga Tak Mau Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Adapun batu pertama pembangunan MII diletakkan pada 30 Juni 1972.
Pada 20 April 1975, MII resmi dibuka dengan nama Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Pada 1977, Soeharto mengeluarkan sebuah ketetapan yang mengatur bahwa pengelolaan TMII diberikan kepada YHK. Ketetapan itu adalah Keppres Nomor 51 Tahun 1977.
Selama 44 tahun TMII dikelola oleh Yayasan Harapan Kita.
Baca juga: Rekomendasi Tempat Wisata di Pacitan dengan Tarif Masuk Hanya Rp 5.000