Dampak dari dua fenomena global ini membawa kita pada istilah imperalisme budaya yang merujuk pada proses pengaruh sosial yang meliputi kepercayaan, nilai-nilai, pengetahuan, dan norma perilaku serta cara hidup dari suatu negara ke negara lain (Berltran, 1978).
Salah satu efek langsung dari imperalisme budaya adalah terkikisnya identitas dan kearifan lokal seperti adat istiadat, musik, serta cara hidup masyarakat lokal.
Di Indonesia, gejala imperalisme budaya dapat ditarik dari masa kolonial yang menempatkan kebudayaan Belanda sebagai hegemoni.
Sementara itu, Bettina David dalam tulisannya Bollywood, Dangdut Music, and Globalizing Modernities in Indonesia telah menemukan bagaimana pengaruh asing dari India, Arab, Turki mempengaruhi musik populer Dangdut.
Di era Orde Lama, gempuran budaya pop Barat seperti musik rock and roll, yang sempat digemari publik dilarang karena dianggap berpotensi menggeser budaya lokal.
Semangat anti-imperalisme ditunjukkan melalui prinsip Trisaktinya, yaitu berdaulat secara politik, ekonomi, dan kebudayaan sehingga segala bentuk produk asing dilarang, bahkan kelompok musik, Koes Ploes, pernah dipenjara karena dianggap terinspirasi dari The Beatles.
Kemudian di era Orde Baru, Presiden Soeharto membuka kembali keran yang sempat menutup imperalisme budaya Barat, artinya segala produk Barat seperti teknologi dan budaya pop secara masif masuk secara bebas, alhasil kita mulai sering menikmati produk-produk pop Barat seperti film, musik, fashion hingga makanan seperti McD dan KFC.
Di era reformasi, politik kebudayaan semakin terbuka lebar, namun di era ini imperalisme budaya bukan hanya datang dari Barat, tetapi juga dari negara-negara non-Barat (Jepang, India, Cina, Korea, Timur Tengah).
Ariel Heryanto (2015) dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia mengatakan bahwa dalam konteks pop culture, musik populer Amerika dan film Hollywood memang masih berpengaruh namun tidak lagi secara ekslusif menjadi hegemoni.
Lebih lanjut lagi ia menegaskan bahwa wacana dikotomi Timur versus Barat tidak lagi menonjol di ranah diskusi publik di era yang dijuluki sebagai “Abad Asia”.
Kebudayaan pop dari negara non-Barat (peripheral) hadir sebagai counter-culture dari dominasi dan hegemoni budaya Barat.
Apakah Indonesia juga melakukan imperalisme budaya? Mungkin kita pernah menonton acara ajang pencarian bakat musik dangdut D'Academy Asia tahun 2016 lalu yang ditayangkan dan diproduksi Indosiar.
Yang menarik dari reality show tingkat Asia ini adalah bagaimana kontestan yang berasal dari Asia Tenggara dipaksa menyanyikan lagu dangdut asli Indonesia.
Upaya dangdut-isasi ini boleh jadi merupakan bentuk imperalisme budaya kita kepada negara Asia Tenggara yang masyarakatnya mungkin tidak begitu akrab dengan musik dangdut.
Konsekunesi globalisasi dan kemajuan teknologi-informasi memang telah mempengaruhi eksistensi budaya lokal kita dan membawa kita pada kondisi ‘krisis kebudayaan’.
Lalu bagaimana kita memelihara kebudayaan nusantara di tengah gempuran budaya asing?
Diperlukan kebijakan dan strategi kebudayaan yang tepat untuk mengatasi hal ini dengan bersikap terbuka terhadap modernitas namun tetap memiliki jati diri sebagai bangsa yang berdaulat dan bermatabat.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menawarkan enam program prioritas untuk menanggulangi permasalahan kebudayaan, antara lain jalur rempah, desa pemajuan kebudayaan, repatriasi cagar budaya, media kebudayaan, advokasi masyarakat adat, dan BLU museum.
Namun yang terpenting lagi adalah kita harus membangun branding nation yang positif dan berkarakter di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, untuk melindungi bangsa dari gempuran arus kebudayaan global.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.