Dicky mengatakan, pemberian highlight pada angka kesembuhan di atas indikator lain, merupakan hal yang tidak tepat.
Alasan pertama, menurut Dicky, angka kesembuhan tidak bisa memberikan gambaran performa pengendalian pandemi suatu negara, atau suatu wilayah.
Kemudian, angka kesembuhan tidak bisa dijadikan rujukan untuk pelonggaran atau pengetatan pembatasan sosial.
"Angka kesembuhannya rendah 'Oh kita harus lakukan pengetatan', tidak, bukan seperti itu. Tapi test positivity rate, itulah yang harus dijadikan rujukan indikator pelonggaran atau pengetatan," kata Dicky.
Selain itu, Dicky juga menyebut bahwa penggunaan istilah 'sembuh' adalah hal yang tidak tepat.
Dia mengatakan, seharusnya istilah yang digunakan adalah 'pulih', karena sampai saat ini belum ada obat definitif yang menyembuhkan pasien Covid-19.
"Berbeda antara yang 'pulih' dengan yang 'sembuh'. Kalau yang pulih ini definisinya belum bisa kita yakini betul karena belum diketahui dampak jangka panjang, dan yang saat ini diketahui yang pulih itu pun ternyata antibodi yang muncul, sebagian besar rendah," kata Dicky.
Baca juga: Epidemiolog Sarankan Jawa dan Bali Tunda Sekolah Tatap Muka
"Artinya, kasus pulih ini bisa jadi kasus infeksi lagi karena ada re-infeksi, dan oleh karena itu kasus pulih yang dibanggakan ini ya tetap akan menjadi beban. Karena mereka pun masuk dalam kategori rawan dan tetap harus mendapat vaksinasi," kata Dicky melanjutkan.
Dengan alasan-alasan yang telah ia kemukakan, Dicky mengatakan angka 'kesembuhan' tidak bisa ditempatkan sebagai capaian keberhasilan pengendalian pandemi.
"Ketika kita salah menempatkan definisi atau posisi kasus pulih ini, ini akan memberikan pesan komunikasi yang keliru, yang akhirnya akan menjauhkan dari kewaspadaan, dan menjauhkan dari prinsip bahwa sebetulnya pencegahan lebih baik daripada terinfeksi Covid-19," kata Dicky.