Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sederet Regulasi Kontroversial di Masa Pemerintahan Jokowi

Kompas.com - 05/10/2020, 17:06 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Jihad Akbar

Tim Redaksi

Keempat, penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam waktu satu tahun.

Kelima, asal penyelidik dan penyidik. Dalam revisi itu, penyelidik harus berasal dari Kepolisian RI, sementara penyidik adalah pegawai yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.

Baca juga: Komnas HAM Desak Aparat Usut Tuntas Kasus Kerusuhan di Aksi Unjuk Rasa Mahasiswa Tolak UU KPK dan RKUHP

2. UU Minerba

Selain revisi UU KPK, yang menuai kontroversi kedua yakni regulasi terkait pertambangan mineral dan batubara (Minerba).

RUU Minerba disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba pada 13 Mei 2020.

Partai Demokrat menjadi satu-satunya fraksi yang menolak UU Minerba itu.

Ada sejumlah poin di UU Minerba tersebut yang dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 169A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.

Melalui pasal tersebut, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), masing-masing paling lama selama 10 tahun.

Penghapusan Pasal 165 soal sanksi bagi pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), IUPK, dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) juga dinilai bertentangan dengan UU Minerba.

Selain itu, penghapusan Pasal 45 UU Nomor 4 Tahun 2009 juga memungkinkan pemegang IUP untuk tidak melaporkan hasil minerba dari kegiatan eksploarasi dan studi kelayakan.

Baca juga: Lagi, UU Minerba Digugat ke MK

3. Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Pada Sabtu (3/10/2020) malam, DPR dan pemerintah telah menyepakati seluruh hasil pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Tercatat, hanya PKS dan Partai Demokrat yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut.

Calon regulasi tersebut pun akan dibawa ke Rapat Paripurna pada Kamis (8/10/2020). Artinya, tinggal selangkah lagi disahkan menjadi UU.

Sejak akhir tahun lalu, kritik dan aksi protes telah digelar untuk menggagalkan pembahasan RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan para pekerja.

Sebab, hak pekerja yang sebelumnya termuat dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 seakan disunat.

Misalnya, total pesangon untuk pekerja yang terkena PHK maksimal hanya menjadi 25 kali upah, padahal sebelumnya 32 kali upah.

Selanjutnya, sistem kerja kontrak tak ada batasan yang dinilai bisa menyebabkan pekerja kehilangan akan kepastian status kerjanya.

Serta, dihapuskannya upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang akan diganti dengan UMP (provinsi). Penghapusan itu bisa membuat upah pekerja lebih rendah.

Baca juga: Ini 14 Aturan PHK di RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Sumber: Kompas.com (Fitria Chusna Farisa/Rully R Ramli/Kiki Safitri/Retia Kartika Dewi | Editor: Icha Rastika/Yoga Sukmana/Sakinah Rakhma Diah Setiawan/Jihad Akbar)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com