Sebagaimana diketahui krisis pangan menyambangi sejumlah bangsa di dunia hampir sepanjang sejarah peradaban manusia. Krisis pangan terjadi, baik faktor alam (kemarau panjang) dan iklim yang berubah, juga akibat faktor manusia seperti penumpukan yang berlebihan, perang, dan konflik agragria
Global Report On Food Crisis 2020 menyebutkan, terdapat 135 juta warga di 50 negara dunia telah masuk ke krisis pangan tahap tiga selama empat tahun terakhir.
Krisis pangan akut yang didorong oleh konflik sosial terutama terjadi Republik Demokratik Kongo dan Sudan Selatan. Krisis pangan akibat kekeringan dan guncangan ekonomi terjadi di negara-negara seperti Haiti, Pakistan, dan Zimbabwe.
Selain 50 negara yang teridentifikasi oleh laporan di atas, menurut data Global Hunger Index 2019, Indonesia berada di peringkat 70 dari 117 negara dengan nilai 20,1 dan masuk kategori serius. Poin ini bahkan mengalami penurunan dari tahun 2010 (24,9) dan 2005 (26,8).
Sayangnya, sejauh ini masalah kelaparan di Indonesia kurang diangkat secara terbuka. Meski demikian, Indonesia tampaknya menghadapi krisis pangan yang nyata.
Terbukti, Indonesia masih mengimpor beberapa jenis makanan pokok dari luar negeri. Ketergantungan pada impor bahan-bahan pokok ini sebagian besar disebabkan oleh produksi pangan (beras) domestik yang buruk sehingga gagal mengimbangi peningkatan jumlah penduduk.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS produksi tahunan beras di Indonesia telah menurun sejak 2016, dengan penurunan sebesar 7,75 persen pada tahun 2018-2019 saja.
Pada 2019, produksi beras dalam negeri Indonesia mencapai 31,31 juta ton yang baru saja melampaui permintaan sebesar 29,6 juta ton sehingga membutuhkan surplus stok untuk diimpor dari Vietnam, India, dan Myanmar.
BPS pun menyebutkan, impor beras mencapai 2,25 juta ton pada 2018. Jumlah itu meningkat pesat dari 305,27 ribu pada 2017.
La Via Campesina --organisasi perjuangan petani internasional-- sebagai organisasi payung Serikat Petani Indonesia (SPI) di tingkat Internasional telah memperkenalkan konsep kedaulatan pangan (Food Sovereignty) bagi umat manusia di dunia ini pada World Food Summit (WFS) yang dilaksanakan pada November 1996 di Roma, Italia.
Menurut WFS, kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Dalam konteks Indonesia, pengertian ketahanan pangan, tertuang dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan. Ketahanan pangan adalah "kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".
Menurut penulis, terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah pembaruan agraria; adanya hak akses rakyat terhadap pangan; penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan; pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan; pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; melarang penggunaan pangan sebagai senjata; dan pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
Namun, tampaknya upaya menegakkan kedaulatan pangan di Indonesia seperti menegakkan “benang basah”. Pasalnya, di tengah euforia pelaksanaan pembaruan agraria dan kedaulatan pangan, para petani Indonesia justru dibenturkan dengan sejumlah pasal Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja yang bertentangan dengan ruh pembaruan agraria dan penegakan kedaulutan pangan.
Terkait reforma agraria, Omnibus Law (RUU Cipta Kerja) justru memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UUPA 1960, seperti penambahan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 90 tahun, pembentukan bank tanah, dan pasal-pasal lainnya.