Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merasakan Gejala Covid-19, seperti Apa Ketentuan Boleh Tidaknya Isolasi Mandiri?

Kompas.com - 07/09/2020, 19:30 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Selain testing dan tracing, isolasi juga menjadi salah satu strategi intervensi untuk mencegah penularan virus corona penyebab Covid-19.

Isolasi dilakukan pada pasien atau orang yang menunjukkan gejala positif Covid-19, dengan memisahkan atau membatasi kontak mereka dengan orang lain.

Selain itu, isolasi juga diberlakukan bagi pelaku perjalanan yang bepergian ke wilayah yang dikategorikan sebagai zona merah.

Dalam pelaksanaannya, isolasi tidak harus dilakukan di fasilitas kesehatan (faskes). Seseorang juga diperbolehkan melakukan isolasi mandiri di tempat tinggal, atau rumah.

Seperti apa pertimbangan dan ketentuan melakukan isolasi mandiri?

Juru Bicara Satgas Covid-19 RS Universitas Sebelas Maret, Tonang Dwi Ardyanto, mengatakan, ada beberapa pertimbangan sebelum seseorang diputuskan boleh menjalani isolasi mandiri di rumah, yaitu:

  • Ada tidaknya gejala dan berat-ringannya gejala.
  • Kesiapan dan ketersediaan tempat di rumah untuk melakukan isolasi mandiri, termasuk kemampuan anggota keluarga lain yang sehat untuk mengawasi.
  • Daya dukung monitoring dari faskes terdekat.
  • Respons dan dukungan dari masyarakat sekitar rumah.

Baca juga: Banyak Klaster Keluarga, Lakukan Ini jika Saudara Anda Positif Covid-19

Tonang mengatakan, kriteria kelayakan isolasi mandiri dilakukan berdasarkan evaluasi dan pertimbangan dari beberapa pihak berwenang.

"Untuk menilai kriteria kelayakan isolasi mandiri, ada beberapa langkah, yaitu pertimbangan dokter yang merawat, evaluasi dari dinkes/puskesmas setempat, dan pertimbangan dari aparat pemerintahan terdekat," kata Tonang saat dihubungi Kompas.com, Senin (7/9/2020).

Komunikasi dengan faskes terdekat

Isolasi mandiri sesuai dengan pedoman dari Kementerian Kesehatan perlu segera dilakukan jika ada individu atau keluarga menunjukkan gejala Coovid-19.

"Beritahukan ke Puskesmas atau Dinkes setempat, serta beri daftar orang-orang yang kontak erat sejak 2 hari sebelum timbul gejala atau diambil swab yang memberi hasil positif," kata Tonang.

Jika pada masa isolasi mandiri gejala yang dirasakan tampak serius, maka disarankan untuk segera menghubungi rumah sakit agar segera mendapatkan perawatan yang lebih memadai.

Hal tersebut juga dilakukan bila ada anggota keluarga yang bergejala, atau dinyatakan positif Covid-19.

"Anggota keluarga yang sehat, mengambil peran kontak dan komunikasi ke pihak terkait. Kemudian, mengawasi berjalannya isolasi mandiri anggota keluarga yang sakit," ujar Tonang.

Baca juga: Seperti Ini Gejala Ringan, Sedang, dan Berat pada Pasien Covid-19

Mewaspadai happy hypoxia syndrome

Pasien orang tanpa gejala (OTG) dan pasien reaktif hasil rapid test Covid-19 melakukan senam pagi bersama relawan dan tenaga medis di Rumah Singgah Karantina Covid-19, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (27/5/2020). Rumah Singgah Karantina Covid-19 ini merawat 33 pasien OTG Covid-19  dan 12 orang reaktif hasil rapid test.KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Pasien orang tanpa gejala (OTG) dan pasien reaktif hasil rapid test Covid-19 melakukan senam pagi bersama relawan dan tenaga medis di Rumah Singgah Karantina Covid-19, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (27/5/2020). Rumah Singgah Karantina Covid-19 ini merawat 33 pasien OTG Covid-19 dan 12 orang reaktif hasil rapid test.
Saat ini, mulai dikenal istilah happy hypoxia, atau sindrom terjadinya penurunan saturasi oksigen dalam tubuh di bawah batas normal. 

Penderita sindrom itu tidak menunjukkan gejala umum yang dialami oleh orang yang mengalami kekurangan oksigen.

Sebaliknya, mereka justru tampak sehat dan baik-baik saja.

Kondisi tersebut kemudian memicu beberapa kasus kematian mendadak pada pasien Covid-19, terutama bagi mereka yang tidak menunjukkan gejala.

Hal itu tentu perlu diwaspadai oleh mereka yang menjalani isolasi mandiri, dan tentunya tidak mendapat pengawasan 24 jam dari tenaga kesehatan.

Tonang mengatakan, untuk mengantisipasi dan mendeteksi dini happy hypoxia syndrome, ada dua cara yang bisa dilakukan, yaitu:

  1. Tarik napas dalam-dalam 2-3 kali. Bila timbul rangsangan batuk, waspadai risiko hipoksia.
  2. Menggunakan alat Pulse Oxymetri di ujung jari, untuk mengukur saturasi oksigen.

"Keduanya dilakukan berkala, minimal pagi-siang-sore-malam," kata Tonang.

Sementara itu, perlu ekstra waspada jika sudah timbul kondisi sebagai berikut:

  • Frekuensi napas makin cepat
  • Merasa cepat lelah
  • Ada rasa berat di dada saat bernapas

Jika terjadi tiga kondisi di atas, maka harus segera melapor ke faskes terdekat.

Baca juga: Berpacu dengan Waktu, Menemukan Penyebab Happy Hypoxia pada Pasien Covid-19

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Mengenal Happy Hypoxia

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Alasan Semua Kereta Harus Berhenti di Stasiun Cipeundeuy, Bukan untuk Menaikturunkan Penumpang

Alasan Semua Kereta Harus Berhenti di Stasiun Cipeundeuy, Bukan untuk Menaikturunkan Penumpang

Tren
Indonesia Vs Guinea, Berikut Perjalanan Kedua Tim hingga Bertemu di Babak Playoff Olimpiade Paris 2024

Indonesia Vs Guinea, Berikut Perjalanan Kedua Tim hingga Bertemu di Babak Playoff Olimpiade Paris 2024

Tren
Pelatih Guinea soal Laga Lawan Indonesia: Harus Menang Bagaimanapun Caranya

Pelatih Guinea soal Laga Lawan Indonesia: Harus Menang Bagaimanapun Caranya

Tren
8 Pencetak Gol Terbaik di Piala Asia U23 2024, Ada Dua dari Indonesia

8 Pencetak Gol Terbaik di Piala Asia U23 2024, Ada Dua dari Indonesia

Tren
WHO Temukan 3 Kasus di Riyadh, Ketahui Penyebab dan Pencegahan MERS- CoV Selama Ibadah Haji

WHO Temukan 3 Kasus di Riyadh, Ketahui Penyebab dan Pencegahan MERS- CoV Selama Ibadah Haji

Tren
Pertandingan Indonesia Vs Guinea Malam Ini, Pukul Berapa?

Pertandingan Indonesia Vs Guinea Malam Ini, Pukul Berapa?

Tren
Benarkah Antidepresan Bisa Memicu Hilang Ingatan? Ini Penjelasan Ahli

Benarkah Antidepresan Bisa Memicu Hilang Ingatan? Ini Penjelasan Ahli

Tren
WHO Peringatkan Potensi Wabah MERS-CoV di Arab Saudi Saat Musim Haji

WHO Peringatkan Potensi Wabah MERS-CoV di Arab Saudi Saat Musim Haji

Tren
Mengapa Lumba-lumba Berenang Depan Perahu? Ini Alasannya Menurut Sains

Mengapa Lumba-lumba Berenang Depan Perahu? Ini Alasannya Menurut Sains

Tren
Cara Cek NIK KTP Jakarta yang Non-Aktif dan Reaktivasinya

Cara Cek NIK KTP Jakarta yang Non-Aktif dan Reaktivasinya

Tren
Berkaca dari Kasus Mutilasi di Ciamis, Mengapa Orang dengan Gangguan Mental Bisa Bertindak di Luar Nalar?

Berkaca dari Kasus Mutilasi di Ciamis, Mengapa Orang dengan Gangguan Mental Bisa Bertindak di Luar Nalar?

Tren
3 Bek Absen Melawan Guinea, Ini Kata Pelatih Indonesia Shin Tae-yong

3 Bek Absen Melawan Guinea, Ini Kata Pelatih Indonesia Shin Tae-yong

Tren
Alasan Israel Tolak Proposal Gencatan Senjata yang Disetujui Hamas

Alasan Israel Tolak Proposal Gencatan Senjata yang Disetujui Hamas

Tren
Pendaftaran Komcad 2024, Jadwal, Syaratnya, dan Gajinya

Pendaftaran Komcad 2024, Jadwal, Syaratnya, dan Gajinya

Tren
Studi Baru Ungkap Penyebab Letusan Dahsyat Gunung Tonga pada 2022

Studi Baru Ungkap Penyebab Letusan Dahsyat Gunung Tonga pada 2022

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com