KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian untuk mengimpor 50 juta dosis calon vaksin Covid-19 dari Sinovac, China.
Perjanjian ini ditandatangani oleh Menteri BUMN sekaligus Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN), Erick Thohir.
Indonesia dalam hal ini PT Bio Farma tidak hanya akan mengolah dan mendistribusikan vaksin dari China, melainkan juga menerima transfer teknologi sehingga ke depannya bisa mengembangkannya secara mandiri.
Bio Farma akan menerima bulk atau konsentrat Ready to Fill (RTF) calon vaksin dari Sinovac ini yang diperkirakan mulai November 2020-Maret 2021.
Baca juga: RI Akan Impor 50 Juta Dosis Calon Vaksin Covid-19 dari China
Melihat kerjasama dan langkah yang diambil pemerintah Indonesia terkait keputusan impor vaksin tersebut, Pakar Epidemiologi Dicky Budiman menyebutnya sebagai satu langkah yang positif.
"Pengamanan stok calon vaksin tentu penting, sebagai salah satu strategi pelengkap penyelesaian pandemi mengingat kebutuhannya akan besar dan perlu diantisipasi sejak awal," kata Dicky saat dihubungi Sabtu (22/8/2020).
Artinya dengan melakukan pengamanan stok sejak awal, Indonesia bisa mengantisipasi adanya kekurangan jumlah vaksin akibat tidak mendapat dosis yang cukup ketika bersaing dengan banyak negara yang juga sama-sama membutuhkan.
Namun, Dicky menyebut pengamanan vaksin ini akan lebih baik jika dilakukan pemerintah ke lebih dari satu pemasok saja. Hal ini untuk mengantisipasi apabila calon vaksin dari satu produsen ternyata belum dinyatakan berhasil.
"Harus ada diversifikasi untuk meningkatkan peluang, adapun jumlahnya bisa ditentukan pemerintah sesuai analisis kebutuhan berdasar kajian dan rencana. Sembari memastikan adanya klausul transfer of knowledge dan teknologi sehingg kita diuntungkan," jelas dia.
Baca juga: 20 Juta Orang Terinfeksi, Ini Update 6 Kandidat Vaksin Corona di Dunia
Diversifikasi bisa dilakukan dengan pengembang calon vaksin dari negara lain, misalnya Inggris, Korea Selatan, dan Australia.
"Saya melihat pilihannya ada pada vaksin dari China, UK, USA, Korea, dan Australia," sebut Dicky.
Dicky menekankan, adanya vaksin atau obat ini hanya salah satu strategi untuk mengatasi pandemi. Masih ada hal lain yang harus dilakukan, untuk benar-benar terhindar dari paparan virus tersebut.
"Tetap harus difahami bahwa strategi penyelesaian pandemi dengan karakter seperti Covid-19 ini tidak bisa hanya mengandalkan vaksin dan obat saja. Namun tetap harus menjaga optimalisasi program testing, tracing, isolasi, dan perubahan perilaku," jelasnya.
Epidemiolog yang tengah menempuh pendidikan doktoral di Griffith University Australia ini mencontohkan pada epidemi ebola.
Pada kasus itu, terbukti bahwa ditemukannya obat dan vaksin ebola ternyata tidak serta-merta menyelesaikan wabah penyakit itu.
Sementara untuk calon vaksin yang akan diterima Bio Farma berupa bulk atau konsentrat Ready to Fill (RTF), Dicky menjelaskan itu merupakan hasil dari pelaksanaan uji klinis calon vaksin yang bersangkutan.
"Ketika uji klinis fase 3 vaksin Sinovac-nya berhasil dan signifikan secara statistik dan klinis dan lolos izin dari BPOM maka bulk vaksin tersebut tinggal mengalami proses untuk masuk dalam vial dan syringe dan mengemasnya dalam kondisi sangat steril," jelas Dicky.
Menurutnya langkah ini akan menghemat banyak waktu, dan mengurangi jumlah korban yang mungkin jatuh.
Baca juga: WHO Usahakan agar Distribusi Vaksin Corona Merata, Bagaimana Caranya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.