Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah Tatap Muka di Zona Kuning, Sudah Siap dengan Risiko dan Bahayanya?

Kompas.com - 07/08/2020, 18:33 WIB
Mela Arnani,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejumlah sekolah telah melakukan pembelajaran secara tatap muka di tengah pandemi virus corona.

Meskipun pihak sekolah mengklaim pelaksanaannya menerapkan protokol kesehatan, pembelajaran tatap muka tetap dikhawatirkan dapat meningkatkan penyebaran virus corona.

Di Tegal, Jawa Tengah, ada siswa yang dinyatakan positif Covid-19. Sebelumnya, ia sempat mengikuti pembelajaran di kelas.

Pada hari ini, Jumat (7/8/2020), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, sekolah yang berada di zona hijau dan kuning diperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka.

Keputusan ini berdasarkan revisi surat keputusan bersama (SKB) empat menteri, yaitu Mendikbud, Menteri Kesehatan (Menkes), Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terkait proses pembelajaran tatap muka di sekolah pada tahun ajaran 2020/2021.

Ada kekhawatiran dengan dibukanya pembelajaran tatap muka di sekolah. Apalagi, potensi anak-anak terpapar virus corona masih tinggi.

Baca juga: Tanpa Paksaan, Mendikbud Sebut Pembelajaran Tatap Muka di Zona Hijau dan Kuning Diperbolehkan

Berisiko dan berbahaya

Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai, pembukaan sekolah sangat berisiko dan berbahaya.

Apalagi, belum ada penelitian menyeluruh mengenai dampak jangka pendek dan panjang infeksi virus corona pada anak.

"Sementara, riset terkini memperlihatkan bahwa anak dengan tanpa adanya gejala pun ternyata memiliki kerusakan di organ parunya," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Jumat (7/8/2020).

Baca juga: Sekolah Dibuka Kembali Juli, Berikut Panduan New Normal Cegah Corona

Dicky menjelaskan, fakta dan sejarah pandemi sebelumnya telah membuktikan hal tersebut. Hal ini seharusnya dijadikan pelajaran untuk mengutamakan kehati-hatian.

Ia mengatakan, para peneliti juga melihat bahwa banyak kasus kesehatan yang timbul dalam jangka panjang setelah pandemi berakhir.

"Lethargy encephalitis adalah salah satunya yang kita deteksi dapat terjadi pasca infeksi Covid-19," ujar dia.

Dicky menyarankan, sebaiknya dalam situasi seperti saat ini, dilaksanakan pembelajaran sistem daring dengan berbagai inovasi.

"Itu sebabnya dalam pengendalian pandemi memang perlu banyak pakar terlibat. Bukan cuma kesehatan saja. Pakar pendidikan perlu diminta pendapatnya," kata Dicky.

Pembelajaran daring sebaiknya tetap dijalankan hingga akhir tahun ini.

Anak muda penderita Covid-19 meningkat

Dicky mengingatkan, rilis terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa proporsi orang berusia muda yang menderita Covid-19 meningkat 3 kali lipat dalam 5 bulan terakhir.

Sementara itu, di Inggris, klaster kasus di sekolah meningkat dalam dua minggu terakhir. Adapun kenaikannya dari 4,5 persen menjadi 15 persen.

"Studi yang dimuat di JAMA menyebutkan bahwa penutupan sekolah sangat berkorelasi dengan penurunan kasus kesakitan dan kematian akibat Covid-19," jelas Dicky.

Baca juga: Sekolah Dibuka Juli 2020 atau Januari 2021? Begini Tanggapan Epidemiologi

WHO tegas memperingatkan bahwa anak muda dapat terinfeksi hingga berisiko meninggal dunia, dan bisa mentransmisikan virus kepada orang lain.

Dicky menuturkan, penting sekali ditekankan potensi bahaya sekolah dibuka kembali, di tengah proporsi kasus pada anak secara global meningkat 3 kali lipat.

"Kasus pada anak di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata global, juga kematian pada anak," kata dia.

"Dan yang bikin saya sangat khawatir adalah data kasus infeksi Covid-19 anak yang memprihatinkan di atas masih belum menggambarkan masalah yang sesungguhnya karena cakupan tes kita yang sangat rendah apalagi pada anak," kata dia.

Baca juga: Melihat Dampak di Korea Selatan hingga Perancis Setelah Sekolah Dibuka Kembali...

Aman di wilayah dengan tingkat penularan rendah

Dicky menyebutkan, sekolah yang sukses dan aman dibuka selama pandemi adalah sekolah di lokasi atau wilayah yang telah mencapai low community transmission rates atau tingkat penularan di komunitas rendah.

Parameternya, kurang dari 1 kasus baru per 100.000 orang per hari.

"Ini belum terpenuhi di Indonesia," ujar dia.

Selain itu, menurut dia, yang harus dilakukan saat ini adalah tetap fokus dalam menjaga population-level infection control atau pengendalian infeksi tingkat populasi.

"Mayoritas wilayah kita, meski zona hijau sekali pun, are not testing enough to reopen schools safely (tidak cukup menguji untuk membuka kembali sekolah dengan aman)," lanjut Dicky.

Ia memaparkan, keamanan sekolah sangat bergantung pada tingkat penularan di masyarakat.

Artinya, ketika penularan masih tinggi di masyarakat, maka semakin besar risiko untuk siswa.

"Ini peringatan dan perlu dicegah terjadi di Indonesia dengan tetap menutup sekolah hingga penularan di masyarakat terkendali," papar Dicky.

Risiko Covid-19 pada anak, menurut sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal The Lancet, harus menjadi perhatian.

Studi dilakukan terhadap 582 anak terinfeksi Covid-19 di 21 negara Eropa yang teridentifikasi di rumah sakit. Data penelitian menunjukkan sebagai berikut.

  • 62 persen harus dirawat, dengan 8 persen di ICU
  • 4 persen memerlukan mechanical ventilation, dengan rata-rata 7 hari, dan dalam kisaran 1-34 hari
  • 25 persen memiliki pre-existing conditions atau kormobid
  • 0,7 persen meninggal dunia.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Macam-macam Penularan Virus Corona

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com