Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reog Ponorogo, Nyaris "Tamat" pada 1965 hingga Diklaim Negara Lain

Kompas.com - 05/07/2020, 08:04 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

Kelengahan itu dimanfaatkan Kelana dengan mencambukkan senjatanya yang benama "Pecut Saman". Singa Barong pun berhasil dikalahkan.

Saat pesta perkawinan Kelana Sewandana dengan Dewi Dyah Ayu Sangga Langit, mereka diiringi oleh arak-arakan Singa Barong dengan dua merak bertengger di atasnya.

Dari sinilah kemudian dikembangkan menjadi permainan reog.

Baca juga: Ketika Reog Ponorogo Jadi Pusat Perhatian Penonton Menoreh Art Festival 2018

Reog atau Reyog?

Harian Kompas, 19 April 1999, menuliskan, salah satu sesepuh warok Kasal Gunapati atau Mbah Kamituwo Kucing mengatakan, susunan kata yang tepat sebenarnya reog.

Menurut dia, reyog merupakan singkatan lima huruf yang masing-masing memiliki arti arti sendiri, tapi jika dinyanyikan akan membentuk lagu Pucung.

Huruf pertama "R" lengkapnya berbunyi "rasa kidung" (cita rasa seni); "E" lengkapnya "engwang sukma adiluhung" yakni halus yang telah bebas dari segala kelekatan duniawi; "Y" artinya "yuwang agung kang pirsa" alias Tuhan YME; "O" artinya "olah kridaning pambudi" atau oleh batin, dan "G" berarti "gelar gulung karsane Kang Maha Kuasa" alias melakukan kehendak Tuhan.

"Jadi, pertunjukan reyog itu sekaligus hiburan seni namun juga mengandung nilai-nilai rohani dan religius yang dalam," jelas dia.

Oleh karena itu, ia sangat peduli ketika reyog "diplesetkan" hanya menjadi reog seperti bunyi slogan Pemda Dati II Kabupaten Ponorogo yang berarti "Resik, Endah, Ombu, dan Girang-gemirang".

"Ya terserahlah bagaimana ini ditafsirkan. Namun yang benar nulisnya harus memakai huruf y," kata warok senior itu.

Baca juga: Reog Ponorogo Meriahkan National Day Lebanon

Lika-liku sejarah

Kesenian yang populer di Jawa Timur dan Jawa Tengah itu sering dimanfaatkan untuk tujuan propaganda sebelum 1965.

Soelastri, dalam artikelnya "Reog Ponorogo, Kesenian Rakyat yang Tetap Jaya" yang dimuat di Harian Kompas, 18 Juni 1995, bahkan menyebut kesenian ini nyaris "tamat" pada 1965.

Pasalnya, ribuan unit reog dibakar akibat isu yang menyebut bahwa kesenian itu digunakan sebagai alat PKI dalam mengumpulkan dan menggerakkan massa.

Setelah 1965, situasi perlahan pulih setelah berdirinya organisasi Insan Takwa Ilahi (Inti) di Ponorogo.

Peran para warog pun mulai berubah bukan lagi sekadar pengumpul massa namun juga mulai jadi alat pemerintah untuk soal pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sampai penerangan tentang Keluarga Berencana.

Bahkan, beberapa kali grup kesenian itu berpartispasi dalam penangkapan penjahat kelas kakap dari luar daerah yang sedang beroperasi di Ponorogo dan sekitarnya.

Begitu populernya reog Ponorogo membuat Malaysia berusaha mengklaim kesenian itu. Sepanjang 2007-2012 saja Negeri Jiran itu tujuh kali mengklaimnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com