KOMPAS.com - Tepat hari ini, Harian Kompas berusia 55 tahun setelah terbit pertama kali pada tahun 1965 silam.
Dikutip dari laman Kompas.id, sejak pertama kali terbit, perjalanan Harian Kompas sebagai media informasi tak selalu berjalan mulus.
Banyak tantangan yang harus dihadapi hingga akhirnya Harian Kompas dapat menjadi media informasi yang terus dipercaya oleh masyarakat.
Berikut perjalanan Harian Kompas:
Pada April 1965, Menteri atau Panglima Angkatan Darat Letjen Achmad Yani mengusulkan kepada Drs Frans Seda, Ketua Partai Katolik, agar partainya memiliki sebuah media.
Dalam buku P.K Ojong Hidup Sederhana Berpikir Mulia karya Helen Ishwara menyebutkan, hampir saja usulan tersebut tak memiliki kelanjutan.
Frans Seda kemudian menghubungi dua rekan yang berpengalaman menangani media massa, yakni Petrus Kanisius (PK) Ojong dan Jakob Oetama, yang dua tahun sebelumnya mendirikan majalah "Intisari".
Jakob Oetama sebelumnya menjabat sebagai redaktur mingguan "Penabur" dan PK Ojong pemimpin redaksi mingguan "Star Weekly".
Kemudian, dibentuklah sebuah yayasan untuk menerbitkan koran tersebut, dan yayasan itu dinamai Bentara Rakyat, korannya juga akan bernama sama.
Baca juga: 55 Tahun Harian Kompas, Panduan Masyarakat Mengarungi Informasi dan Peristiwa
Nama Bentara dipilih, kata Seda, dipilih untuk memenuhi selera orang Flores karena majalah Bentara sangat populer di sana.
Nama Rakyat dipilih untuk mengimbangi Harian Rakyat yang komunis, untuk menunjukkan bahwa rakyat bukan monopoli PKI.
Pengurus yayasan terdiri dari I.J. Kasimo (ketua), Drs. Frans Seda (wakil ketua), F.C. Palaunsuka (penulis I), Drs. Jakob Oetama (penulis II), dan Mr. Auwjong Peng Koen (bendahara).
Jakob Oetama dan PK Ojong mendapat otonomi profesional yang penuh sebagai pangasuh sehari-hari koran yang akan lahir itu.
Namun, tidak mudah mendapatkan izin terbit walaupun, kata Seda, "ada restu dari Bung Karno".
Masalahnya, lanjut Seda, aparatur perizinan saat itu "dikuasai" PKI.