Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Pancasila dan Ekologi Hukum di Era New Normal

Kompas.com - 18/06/2020, 10:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Era new normal

Penulis memahami, saat ini pemerintah mengalami dilema sangat dahsyat. Keduanya ancamannya sama: kematian. Sebab, pandemi mengakibatkan kontraksi dan krisis hebat di dalam ekonomi.

Prediksi Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi atau minus 2,8 persen hingga 3,9 persen akibat pandemi covid-19.

Jika pandemi tidak lekas usai, maka Kamar Dagang dan Industri (KADIN) memprediksi angka pengangguran bisa mencapai 10 juta orang. Maka, kemiskinan dan pengangguran menyebabkan kematian ekonomi.

Di sisi lain, bahaya pandemi Covid-19 khususnya penularannya juga mengancam jiwa. Apalagi bagi lanjut usia (lansia) maupun penderita penyakit tertentu seperti hipertensi dan jantung misalnya. Semua membawa ancaman kematian.

Di tengah kegalauan situasi demikian, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK. 01.07/Menkes/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid 19 Di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi

Kepmenkes di atas menjadi landasan untuk menghadirkan gerak perekonomian dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Hal ini dalam pelaksanaanya tidak mudah. Sebab, terdapat situasi di mana publik terbelah. Ada yang patuh. Namun, ada pula yang mengidap krisis kepercayaan pada pemerintah.

Apalagi diikuti wabah hoaks. Informasi yang miskin akurasi. Belum lagi pelbagai dugaan teori konspirasi bertebaran di ruang sosial yang tidak benar.

Bagi penulis, fenomena di atas harus dijadikan momentum: ini saatnya menunjukkan bahwa kita pewaris sah generasi besar di masa lalu. Sejarah menunjukkan kerajaan di nusantara menguasai jagat global.

Kita memiliki tokoh besar yang mendunia saat mendirikan republik ini. Maka, sudah sewajarnya ini digunakan sebagai instrumen penetrasi agar kita bangkit solidaritasnya.

Menghentikan perdebatan tidak perlu. Berjalan bersama pemerintah untuk membangun strategi dan merealisasikan pelbagai upaya mengatasi pandemi Covid-19.

Demikian pula pada pemerintah. Sebagai pengemban amanah publik, pemerintah harus meningkatkan akselerasi kepekaan terhadap kebutuhan publik.

Mengoptimalkan informasi akurat soal penanganan pandemi, seperti bansos. Satu irama pusat dan daerah sehingga tidak terjadi disparitas informasi dan kebijakan.

Termasuk pula memastikan ruang ruang publik untuk mengkritik dan berpartisipasi terjamin keberadaanya, sepanjang sesuai hukum.

Selain itu, pelbagai kemungkinan potensi kriminalisasi harus dihindari. Demikian pula penghakiman sepihak. Sebab, kita berkomitmen untuk menjaga demokrasi yang berlandaskan Pancasila.

Pada akhirnya, banyak pelajaran penting dari pandemi. Penulis melihat tumbuh kembang kekuatan masyarakat sipil untuk berempati begitu besar. Jiwa berbagi mengental. Sikap kegotongroyongan menguat. Kesadaran pandemi Covid-19 harus dihadapi bersama.

Kondisi ini sebenarnya cerminan direalisasikan nilai-nilai Pancasila. Hal ini harus terus dikapitalisasi dan dikuatkan.

Semoga energi bangsa ini dapat fokus merealisasikan nilai Pancasila dibandingkan meregulasikannya (karena sudah cukup kuat aspek hukumnya) dalam ekologi hukum menghadapi new normal.

Meski tidak mudah, namun harapan masih ada.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com