Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Pancasila dan Ekologi Hukum di Era New Normal

Kompas.com - 18/06/2020, 10:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menyimpulkan pemikiran Soekarno, Yudi Latif menulis (Negara Paripurna, 2017), Pancasila adalah “dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya”.

Jadi, seharusnya Pancasila sebagai nilai, falsafah, ideologi dan cita hukum bangsa dapat dikapitalisasi menjadi modal sosial besar menghadapi pandemi Covid-19.

Memang, letak persoalannya, bangsa ini sudah agak terbata-bata dan gagap dengan Pancasila. Sekadar mengingat lima sila-pun kadang ada frasa yang terlupakan.

Jika Pancasila dijadikan kekuatan jiwa. Maka, kebersamaan dan solidaritas publik melawan pandemi bisa terkonsolidasikan.

Sebab dalam sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan hingga Keadilan Sosial, semua merepresentasikan eksistensi otentik manusia Indonesia. Ini yang kerap dilupakan.

Ekologi hukum

Pancasila sebagai cita hukum tertinggi dipastikan, seharusnya demikian, meresepsi pada sistem hukum Indonesia sebagai suatu ekologi.

Artinya, baik aturan, aparatur maupun budaya masyarakat yang terkait dengan hukum harus meniscayakan Pancasila sebagai hakikat yang melembaga.

Persoalannya, kita sudah agak lama longsor dan menjauh dari Pancasila. Kerap, kita bingung hendak memulai dari mana. Lalu, lahirlah inisiasi Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila. Lazim disingkat RUU HIP.

Pandangan penulis, sebaiknya RUU HIP ditimbang ulang.

Pertama, letak persoalanya bukan Pancasila tidak memiliki legalitas. Pancasila diadopsi di Pembukaan UUD 1945.

Disebut juga pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Termasuk dirawat melalui pelbagai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian undang-undang yang inheren di dalamnya menjadikan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian.

Letak soalnya justru pada implementasi. Jadi, sesungguhnya dalam sistem hukum Indonesia, seluruh peraturan perundang-undangan wajib menjabarkan sila-sila pada Pancasila.

Kedua, yang mendesak bagi stamina bangsa ini adalah bagaimana memastikan menubuhnya Pancasila dalam perilaku sosial seluruh komponen bangsa Indonesia.

Jika manusia Pancasila sudah melembaga maka mengalir dalam darahnya kebencian pada korupsi, berketuhanan sesuai agama dan keyakinannya, anti pada ketidakadilan, tidak diskriminasi, penghormatan hak asasi manusia dan menghargai kemajemukan.

Hal ini wajib menjadi identitas niscaya, baik pada penyelenggara negara maupun warganya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com