Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Program Perumahan Rakyat dari Zaman Sukarno hingga Jokowi

Kompas.com - 03/06/2020, 19:00 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

Bank Tabungan Negara (BTN) kemudian ditunjuk sebagai Bank Hipotik Perumahan. Dengan posisinya itu, BTN bisa memberikan KPR kepada para peminat rumah dengan suku bunga yang disubsidi.

Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) baru berdiri pada tanggal 18 Juli 1974, dengan Ir Radinal Moochtar sebagai Direktur Utamanya.

Pembiayaan bersumber dari Penyertaan Modal Pemerintah (PMP). Pada waktu itu, pembangunan masih dipusatkan di sekitar Jabodetabek.

Perumnas diresmikan oleh Orde Baru

Meskipun Perumnas sudah dicanangkan sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno, namun pembangunan Perum Perumnas baru dimulai di era Presiden Sohearto, yakni pada tahun kedua Pelita II.

Sasarannya adalah masyarakat kota, dengan presentasi 80 persen keluarga berpenghasilan rendah, 15 persen keluarga menengah, dan 5 persen yang berpenghasilan tinggi.

Untuk memenuhi pemerataan pembangunan, Perumnas kemudian menetapkan kebijaksanaan untuk membangun di 77 kota.

Ke-77 kota tersebut terdiri dari 27 ibu kota provinsi, 33 pusat pengembangan wilayah, dan 17 ibu kota kabupaten yang bukan pusat pengembangan wilayah namun berpenduduk 10 ribu orang.

Baca juga: Peran Perumnas sebagai Penyedia Rumah Rakyat Perlu Diperkuat

Melansir Kompas.com, menurut Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar pemerintah Orde Baru memiliki struktur manajemen yang kuat, sehingga pembangunan perumahan selalu meningkat dari waktu ke waktu.

Dimulai pada 1969 saat itu hanya 1.000 unit rumah dibangun oleh Perumnas, kemudian meningkat menjadi 73.914 unit pada 1979 karena adanya partisipasi tambahan dari Real Estate Indonesia (REI).

Pembangunan kembali meningkat pada 1984 menjadi 233.770 unit, dan menjadi 300.280 unit pada 1994.

Memasuki 1998 atau pada saat Orde Baru berakhir, pembangunan menurun menjadi 238.074 unit, lantaran gejolak politik yang terjadi pada saat itu.

Perumahan memegang peran strategis

Sektor perumahan memiliki peran strategis bagi pemerintah jika ingin mempertahankan kekuasaannya. Menurut Jehan, hal tersebut merupakan alasan menteri perumahan di era Orde Baru selalu dipegang oleh orang kuat.

"Kalau dulu, itu (Menpera) nomor satu menteri berpengaruh politik posisinya. Orang kuat yang tidak hanya di pemerintahan tetapi juga di partai politik," kata Jehan dalam sebuah diskusi bertajuk '20 Tahun Refleksi Kebijakan Perumahan' di Jakarta, Rabu (16/5/2018) dikutip dari Kompas.com.

Hal ini tidak terlepas dari kompleksnya masalah penyediaan perumahan bagi masyarakat. Tak hanya menyediakan rumah dengan harga yang lebih terjangkau, tetapi juga meningkatkan pembangunan serta memperluas cakupan wilayahnya, agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.

Di samping itu, perumahan juga dianggap sebagai salah satu sektor paling berpengaruh yang menjadi pendorong pembangunan perekonomian negara. Tidak mengherankan, bila kemudian sektor perumahan selalu mendapat perhatian dari masa ke masa.

Baca juga: Dilema Status Tak Jelas Perum Perumnas

Kebijakan perumahan rakyat pasca reformasi

Pasca reformasi demokrasi di tahun 1998, usaha untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat masih terus berjalan. Hanya saja, program-program pembangunan perumahan ini tidak semasif di era Orde Baru.

Pada tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Program Seribu Tower Rumah Susun Sederhana. Rumah itu ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 5,5 juta per bulan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com