Oleh: Sinta Paramita, SIP, MA
PEMERINTAH telah menyerukan social distancing kepada masyarakat Indonesia dalam bentuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Tujuannya mengurangi penyebaran Covid-19.
Bentuk nyata social distancing juga terlihat dari simbol-simbol pembatas jarak aman pada moda transportasi umum dan berbagai tempat lainnya.
Seruan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani dan mengurangi penyebaran Covid-19.
Tidak hanya permasalahan mengenai pengurangan penyebaran Covid-19 di masyarakat. Penyebaran hoaks terkait Covid-19 juga menjadi masalah tersendiri.
Isu mengenai asal muasal Covid-19, metode penyembuhan, dan hal-hal yang irasional yang belum tentu kebenarannya melenggang mulus di media sosial kita saat ini.
Simpang siur apakah informasi tersebut benar atau hanya hoaks terasa sulit untuk dibuktikan. Masyarakat akhirnya terkecoh dengan hoaks.
Di sisi lain, dunia virtual menyuguhkan ragam informasi mengenai Covid-19 dengan beraneka rasa.
Mereka yang mendapatkan rasa legit akan memiliki semangat untuk terus berjuang melawan Covid-19 dengan cara yang diserukan oleh pemerintah.
Mereka yang mendapatkan rasa getir akan menumbuhkan rasa menyerah, bahkan pada level tertentu akan memantik panik dan amarah.
Celakanya ketika seseorang sudah terjerembab dalam arus getir dalam sistem jaringan media sosial, mereka akan kesulitan mendapatkan informasi yang legit rasanya.
Keadaan seperti itu sudah dijelaskan Eli Pariser sebagai pencetus Filter Bubble pada media sosial.
Filter Bubble menyediakan ruang berdasarkan hasrat manusia untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan.
Hasrat itu dimanifeskan dalam bentuk klik, like, comment, dan share dalam media sosial yang menjadi bahan baku terciptanya Filter Bubble.
Secara kebetulan dan mengejutkan, pengguna media sosial seolah-olah disuguhkan informasi dengan rasa yang mereka sukai.