Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arif Nurdiansah
Peneliti tata kelola pemerintahan

Peneliti tata kelola pemerintahan pada lembaga Kemitraan/Partnership (www.kemitraan.or.id).

Greta Thunberg dan Perempuan Gambut

Kompas.com - 31/12/2019, 17:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GRETA THUNBERG, tahun ini dinobatkan sebagai Person of The Year oleh majalah Time. Greta menyita perhatian dunia pasca-pidatonya di COP24 Kotawice, Polandia, tahun 2018, serta upayanya yang konsisten menyuarakan pentingnya mencegah perubahan iklim.

Berkat social media, apa yang dilakukan Greta mendunia. Saat media arus utama kurang memberitakan, Greta secara leluasa membagikan upaya-upayanya yang tidak sederhana kepada dunia.

Upaya itu dari mulai menggalang anak muda di negaranya untuk turun ke jalan, yang kemudian menginspirasi anak muda di belahan dunia lain untuk melakukan aksi serupa, hingga mengarungi ganasnya lautan menuju konferensi internasional di New York menggunakan kapal laut, demi mengurangi carbon footprint yang dikeluarkan saat dia menggunakan pesawat dan kendaraan lainnya.

Selain Greta, social media di Indonesia juga sempat hangat oleh upaya Awkarin, misalnya, yang terjun langsung ke wilayah kebakaran hutan di Kalimantan.

Handout yang dirilis pada 11 Desember 2019 menunjukkan sampul majalah TIME, di mana aktivis perubahan iklim asal Swedia Greta Thunberg masuk sebagai Person of the Year 2019. Dia menjadi penerima penghargaan termuda sejak tradisi itu diberlakukan 1927 silam.AFP/TIME/EVGENIA ARBUGAEVA Handout yang dirilis pada 11 Desember 2019 menunjukkan sampul majalah TIME, di mana aktivis perubahan iklim asal Swedia Greta Thunberg masuk sebagai Person of the Year 2019. Dia menjadi penerima penghargaan termuda sejak tradisi itu diberlakukan 1927 silam.
Terlepas dari timbulnya pro dan kontra, banyaknya dukungan yang diberikan kepada Awkarin menunjukkan bahwa sebagian generasi muda memiliki kekhawatiran yang sama akan masa depan Indonesia.

Di balik luasnya kebakaran hutan tahun 2019, terdapat bukti nyata dampak perubahan iklim telah menimpa Indonesia.

Salah satunya dengan fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) positif atau lebih dinginnya suhu Samudra Hindia di sebelah barat Sumatera, yang berakibat pada meningkatnya jumlah titik panas dan risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla) (Kompas, 9/8/2019).

Hingga Desember, terdapat 942.484 hektar hutan dan lahan terbakar di seluruh Indonesia (data SiPongi-KLHK 2019).

Kejadian ini jelas semakin mempercepat proses pemanasan global, mengingat banyaknya emisi karbon yang dihasilkan dari karhutla. Kerugian materi ditaksir mencapai Rp 72,95 triliun (Bank Dunia, 2019).

Sebelumnya, di tahun 2015, sekitar 2,6 juta hektar hutan dan lahan di seluruh Indonesia terbakar (SiPongi-KLHK). Ini akibat dari perpaduan antara musim kering yang berkepanjangan dan adanya fenomena El-Nino dan kerugian materiil yang diakibatkan setara dengan Rp 220 triliun (Bank Dunia, 2016).

Pada sisi lain, peningkatan suhu sebagai dampak dari perubahan iklim semakin di rasa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Bahkan, peningkatan suhu di Indonesia saat ini sudah lebih tinggi dibandingkan rata-rata global (Kompas, 12/2/2019).

Perempuan gambut

Gerakan Greta di level dunia, dan apa yang pernah dilakukan oleh Awkarin sedikitnya mewakili dua golongan, anak muda yang cemas melihat generasi sebelumnya terkesan merusak bumi yang akan mereka warisi, dan perempuan sebagai sosok yang paling terdampak perubahan iklim.

Sekitar 2 tahun sebelum Awkarin ke Kalimantan dan ikut memadamkan api di hutan dan lahan, pasca kebakaran hebat di tahun 2015, sebanyak 109 orang, mayoritas anak muda dan perempuan, terjun ke desa gambut yang tersebar di 7 provinsi, menjadi fasilitator program desa peduli gambut (DPG) yang dilaksanakan oleh lembaga Kemitraan dan Badan Restorasi Gambut (BRG).

Selain Kalimantan Tengah, mereka ditempatkan di desa-desa yang tersebar di provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Papua, Jambi, Riau dan Sumatera Selatan.

Indonesia merupakan negara dengan luas lahan gambut terbesar ke empat di dunia, oleh karenanya sudah menjadi kewajiban untuk menjaga ekosistem gambut tetap berada pada sifat alaminya, menyerap, dan menyimpan emisi karbon dengan kapasitas penyimpanan sangat besar, sehingga mampu mengurangi proses pemanasan global akibat efek gas rumah kaca.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com