Data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 2018 terdapat 15.146 perda, dengan 5.560 di antaranya fokus pada investasi. Dari jumlah tersebut, 547 perda diidentifikasi bermasalah dan bisa menghambat investasi.
Sebagai contoh, ketentuan mengenai kawasan bebas merokok dan batasan iklan rokok, terutama di tingkat peraturan daerah, adalah salah satu bukti kerancuan administrasi pemerintahan negara kesatuan, di mana tidak semestinya peraturan daerah bisa memuat pengaturan yang melebihi (dan bahkan bertentangan) dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Sejumlah regulasi daerah tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dan dan batasan iklan tembakau memperlihatkan adanya kon?ik dengan peraturan yang lebih tinggi, ketentuan yang inkonsisten, serta terdapat ketentuan yang multitafsir.
KPPOD bahkan juga mendapati sejumlah ketentuan yang melanggar regulasi nasional serta putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Salah satu keluhan jika sudah menyangkut peraturan daerah adalah hilangnya kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan (executive review) peraturan daerah. Adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 137/PUU-XIII/2015 dan 56/PUU-XIV/2016 yang dibacakan pada 5 April 2017 yang mencabut kewenangan pemerintah pusat tersebut.
Putusan tersebut menjadikan pemerintah pusat hanya memiliki peran pengawasan preventif, berupa evaluasi rancangan peraturan daerah.
Lembaga peradilan menjadi penguji peraturan daerah sesuai dengan sistem yang dianut UUD 1945, yakni centralized model of judicial review, bukan decentralized model, seperti ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Perkembangan terkini, perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disetujui oleh DPR pada akhir September membuka (kembali) kesempatan bagi pemerintah pusat untuk memastikan tidak adanya perda yang bermasalah, termasuk jika ada perda yang dinilai tidak ramah investasi.
Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang tersebut memuat klausul bahwa kewenangan harmonisasi menjadi urusan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Memang klausul tersebut bisa menjadi pisau bermata-dua. Jika digunakan secara eksesif dan serampangan, bisa jadi kewenangan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi pengaturan daerah dengan segala kekhasannya lewat penetapan perda menjadi kehilangan makna.
Pasal tersebut mungkin saja memunculkan kekhawatiran terjadinya "penyeragaman", hal mana yang hendak dihindarkan semenjak Reformasi 1998.
Akan tetapi, jika dilakukan secara tepat, tentunya ada peluang bahwa peraturan di tingkat daerah tidak akan menjadi bumerang bagi keinginan, salah satunya, memacu pertumbuhan ekonomi lewat penciptaan kondisi yang ramah investasi.
Evaluasi preventif bisa dilakukan dengan memastikan semua rancangan bisa harmonis dari sisi substansi maupun prosedur formal pembentukannya.
Tantangannya kini berpulang kepada pemerintah, terutama di tingkat pusat. Bagaimana kapasitas pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, untuk melakukan harmonisasi rancangan perda?
Terlebih jika mengacu pada pengalaman sebelumnya, bahwa dengan kewenangan untuk membatalkan perda sekalipun, tidak menjadikan peraturan-peraturan bentukan daerah menjadi sepenuhnya bebas masalah.