KOMPAS.com - Pasca-kejadian ledakan yang diduga bom bunuh diri di Polrestabes Medan pada Rabu (13/11/2019), sejumlah warganet mengunggah foto yang menampilkan kondisi terduga pelaku bom tersebut.
Dengan tanpa sensor, foto tersebut beredar luas di media sosial, bahkan di aplikasi pesan WhatsApp.
Atas sikap itu, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI) Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengimbau agar lembaga penyiaran dan masyarakat lebih berhati-hati dalam menayangkan pemberitaan tentang terorisme.
Ia juga menyampaikan bahwa aturan yang berlaku terkait program siaran yang memuat adegan kekerasan tertuang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) KPI Tahun 2012.
"Dalam P3-SPS disebutkan bahwa program siaran jurnalistik tentang peliputan bencana atau musibah dilarang, menambah penederitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat; menampilkan gambar korban/mayat secara detail, dan menampilkan gambar luka berat, darah, dan/atau potongan organ tubuh," ujar Mulyo saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/11/2019).
Tak hanya itu, Mulyo menjelaskan, siaran jurnalistik yang memberitakan terorisme wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga, dan/masyarakat yang terkena bencana atau musibah.
"Dalam kaitan liputan terorisme juga tidak boleh melakukan labelisasi berdasarkan suku, agama, ras dan/atau golongan terhadap pelaku, kerabat, dan kelompok yang diduga terlibat," ujar Mulyo.
Baca juga: Pelaku Bom Bunuh Diri Medan Diduga Pakai Atribut Ojek Online, Ini Tanggapan Gojek
Mengenai unggahan terduga pelaku bom bunuh diri yang memperlihatkan bagian tubuh korban, Mulyo pun menegaskan agar lembaga penyiaran dilarang menampilkan tubuh manusia yang berdarah-darah, terpotong-potong, dan/atau kondisi yang mengenaskan.
Menurutnya, jika hal tersebut ditayangkan, maka berakibat menimbulkan kengerian dan trauma bagi korban, keluarga, dan masyarakat.
Dampak dari unggahan foto itu juga bisa menghambat tumbuh kembang jiwan anak-anak dan remaja.