Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan Melawan Hoaks, Catatan dari Pertemuan Fact-Checker Global

Kompas.com - 12/11/2019, 07:05 WIB
Inggried Dwi Wedhaswary

Penulis

MENLO PARK, KOMPAS.com - Pekan lalu, tepatnya 5-6 November 2019, saya bersama salah satu anggota tim fact-checker Kompas.com, Luthfia Ayu Azanella, menghadiri forum pertemuan Global Fact-Checking Summit yang diadakan Facebook di Menlo Park, California, Amerika Serikat.

Forum ini mempertemukan ratusan fact-checker dari berbagai media yang berasal dari berbagai negara.

Para fact-checker ini berasal dari media yang tersertifikasi International Fact-checking Network (IFCN).

Kompas.com menjadi salah satu dari beberapa media di Indonesia yang telah mendapatkan sertifikasi IFCN sejak Oktober 2018.

Media yang tersertifikasi IFCN memiliki tim fact-checker yang berperan aktif memverifikasi dan mengonfirmasi berbagai informasi yang beredar di media sosial.

Dari Indonesia, ada 7 orang fact-checker perwakilan dari beberapa media dan organisasi yaitu Kompas.com, Liputan6.com, Tirto.id, dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).

Apa saja catatan dari forum ini?

Tantangan yang berbeda

Secara umum, pada kesempatan ini, Facebook menginformasikan kebijakan yang kini diterapkan di media sosial terbesar di dunia itu, terkait upaya melawan penyebaran hoaks.

Tak hanya di Facebook, tetapi juga di Instagram, dan aplikasi percakapan Whatsapp.

Sementara, dari paparan dan forum diskusi sesama fact-checker, diketahui bahwa penyebaran informasi bohong alias hoaks menjadi konsen di banyak negara.

Meskipun, tipikal dan isu yang beredar memiliki perbedaan.

Di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, India, sejumlah negara di Afrika, isu kesehatan menjadi salah satu perhatian.

Saya mengikuti salah satu diskusi khusus mengenai misinformasi seputar isu kesehatan yang diisi oleh salah seorang akademisi dari Science Feedback dan seorang fact-checker dari Pesa Check, salah satu organisasi cek fakta yang mengonfirmasi berbagai informasi di kawasan Kenya, Uganda, dan Tanzania.

Berbagai misinformasi yang menyebar relatif sama, seputar obat, pemicu penyakit, imunisasi, dan kebijakan-kebijakan pemerintah terkait kesehatan.

Ditekankan bahwa proses cek fakta informasi seputar viral isu kesehatan harus dipastikan valid dan sahih serta tak hanya mengacu pada satu sumber.

Alasannya, agar tak memunculkan misinformasi baru.

Fact-checking Summit yang berlangsung di Menlo Park, California, Amerika Serikat, pada 5-6 November 2019.KOMPAS.com/INGGRIED DWI WEDHASWARY Fact-checking Summit yang berlangsung di Menlo Park, California, Amerika Serikat, pada 5-6 November 2019.
Tantangan yang dihadapi masing-masing fact-checker dari banyak negara juga berbeda-beda.

Di negara berkembang, salah satu tantangan terbesarnya adalah tingkat literasi warga.

Kerja fact-checker tak hanya melakukan konfirmasi atas sebuah informasi, tetapi juga menumbuhkan kesadaran literasi masyarakat.

Sebagai gambaran, di Indonesia, berdasarkan survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2018, 64,8 persen penduduk Indonesia terkoneksi dengan internet.

Artinya, dari 264,16 juta populasi penduduk Indonesia, 171,17 juta jiwa sudah terhubung dengan internet.

Pengguna terbesar ada di Pulau Jawa dan Sumatera.

Sementara, masih berdasarkan survei APJIII, durasi terhubung internet rata-rata per hari di atas 8 jam.

Dengan banyaknya waktu yang dihabiskan untuk berselancar di dunia maya, maka potensi terpapar berbagai informasi sangat besar.

Pada 2019, Indonesia berada di posisi ke-4 sebagai negara dengan pertumbuhan pengguna internet terbesar di dunia.

Namun, angka ini tak diikuti dengan tingkat literasi di Indonesia. Literasi merupakan kemampuan untuk mengolah dan memahami informasi.

Hal ini juga diakui Ketua Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, yang turut menghadiri Fact-Checking Summit ini.

Ia mengatakan, dari forum ini, diketahui bahwa hoaks yang terjadi di negeri lain sangat bervariasi.

Hal itu tergantung dari banyak faktor, salah satunya tingkat literasi digital masyarakat.

Penyebab lainnya, potensi polarisasi dan perilaku masyarakat dalam bermedia Sosial.

"Negara dengan literasi yang baik, cenderung tidak menghadapi masalah hoaks separah negara dengan polarisasi yang tinggi. Beberapa negara seperti India, Myanmar masih dilanda hoaks yang dipicu sentimen anti-minoritas, dan dampaknya bisa sangat berbahaya karena bisa memicu krisis kemanusiaan. Dan beberapa negara seperti Jerman pun dilanda hoaks terkait isu imigran yang juga bisa memantik konflik antar masyarakat," kata Aji di sela konferensi, kepada Kompas.com.

Oleh karena itu, menurut Aji, yang perlu digalakkan ke depan adalah melakukan edukasi literasi digital secara massif.

"Idealnya terintegrasi dengan kurikulum seperti di Finlandia. Indonesia sudah memiliki ekosistem yang cukup baik. Apalagi adanya beberapa kolaborasi antara fact-checker seperti Cekfakta.com. Perlu terus bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan sehingga imunitas masyarakat terhadap hoaks meningkat," lanjut dia.

Tantangan yang sama juga dihadapi para fact-checker dari beberapa negara di Afrika.

Selain kemampuan literasi, tantangan yang mereka hadapi adalah mengadopsi informasi cek fakta dalam berbagai bahasa.

Ya, di wilayah beberapa negara Afrika, bahasa yang digunakan sehari-hari berbeda-beda.

Oleh karena itu, informasi seputar cek fakta harus dialihbahasakan untuk memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar.

Sementara itu, fact-checker asal Vera Files, Filipina, Celine Isabelle, mengatakan, dari forum ini, ia mengetahui bahwa tantangan yang dihadapi relatif sama.

Ia mendapatkan banyak wawasan mengenai persoalan hoaks di berbagai negara dan bagaimana fact-checker melakukan verifikasinya.

"Dari pertemuan ini, kita bisa saling bertukar informasi dan mengetahui kerja fact-checking yang dilakukan para fact-checker dari berbegai negara. Dalam banyak hal, masalah yang kita hadapi sama, dan kita bisa saling berbagi," kata Celine.

Upaya melawan hoaks

Di Indonesia, beberapa media menaruh perhatian besar dalam upaya kerja cek fakta untuk meluruskan berbagai informasi yang beredar di media sosial.

Selain kerja cek fakta yang dilakukan di ruang redaksi masing-masing, ada pula kolaborasi sejumlah media yang tergabung dalam cekfakta.com.

Salah satu kerja besar yang telah dilakukan adalah kolaborasi melakukan cek fakta saat debat capres dan cawapres pada Pemilihan Presiden 2019.

Sementara itu, di Kompas.com, kami memiliki laman Hoaks atau Fakta, yang memuat sejumlah informasi viral yang telah diklarifikasi.

Setelah proses penelusuran dan konfirmasi, ada informasi yang merupakan fakta, hoaks, atau berupa klarifikasi karena tak sepenuhnya benar atau salah.

Anda juga bisa melaporkan informasi yang Anda tak yakin kebenarannya sehingga perlu diklarifikasi melalui laman tersebut.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Empat Ciri Hoaks Menurut Kominfo

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Situs Panganku.org Beralih Fungsi Jadi Judi Online, Kemenkes dan Kemenkominfo Buka Suara

Situs Panganku.org Beralih Fungsi Jadi Judi Online, Kemenkes dan Kemenkominfo Buka Suara

Tren
Kapan Pengumuman Hasil Tes Online 1 Rekrutmen Bersama BUMN 2024?

Kapan Pengumuman Hasil Tes Online 1 Rekrutmen Bersama BUMN 2024?

Tren
Ramai soal Surat Edaran Berisi Pemkab Sleman Tak Lagi Angkut Sampah Organik, Ini Kata DLH

Ramai soal Surat Edaran Berisi Pemkab Sleman Tak Lagi Angkut Sampah Organik, Ini Kata DLH

Tren
Saat Penyambut Tamu Acara Met Gala Dipecat karena Lebih Menonjol dari Kylie Jenner...

Saat Penyambut Tamu Acara Met Gala Dipecat karena Lebih Menonjol dari Kylie Jenner...

Tren
Kronologi dan Motif Ibu Racuni Anak Tiri di Rokan Hilir, Riau

Kronologi dan Motif Ibu Racuni Anak Tiri di Rokan Hilir, Riau

Tren
Rumah Sakit di Rafah Kehabisan Bahan Bakar, WHO: Penutupan Perbatasan Halangi Bantuan

Rumah Sakit di Rafah Kehabisan Bahan Bakar, WHO: Penutupan Perbatasan Halangi Bantuan

Tren
Cerita Rombongan Siswa SD 'Study Tour' Pakai Pesawat Garuda, Hasil Nabung 5 Tahun

Cerita Rombongan Siswa SD "Study Tour" Pakai Pesawat Garuda, Hasil Nabung 5 Tahun

Tren
Viral, Video Kucing Menggonggong Disebut karena 'Salah Asuhan', Ini Kata Ahli

Viral, Video Kucing Menggonggong Disebut karena "Salah Asuhan", Ini Kata Ahli

Tren
Seekor Kuda Terjebak di Atap Rumah Saat Banjir Melanda Brasil

Seekor Kuda Terjebak di Atap Rumah Saat Banjir Melanda Brasil

Tren
Link Live Streaming Indonesia vs Guinea U23 Kick Off Pukul 20.00 WIB

Link Live Streaming Indonesia vs Guinea U23 Kick Off Pukul 20.00 WIB

Tren
Prediksi Susunan Pemain Indonesia dan Guinea di Babak Play-off Olimpiade Paris

Prediksi Susunan Pemain Indonesia dan Guinea di Babak Play-off Olimpiade Paris

Tren
Alasan Semua Kereta Harus Berhenti di Stasiun Cipeundeuy, Bukan untuk Menaikturunkan Penumpang

Alasan Semua Kereta Harus Berhenti di Stasiun Cipeundeuy, Bukan untuk Menaikturunkan Penumpang

Tren
Indonesia Vs Guinea, Berikut Perjalanan Kedua Tim hingga Bertemu di Babak Playoff Olimpiade Paris 2024

Indonesia Vs Guinea, Berikut Perjalanan Kedua Tim hingga Bertemu di Babak Playoff Olimpiade Paris 2024

Tren
Pelatih Guinea soal Laga Lawan Indonesia: Harus Menang Bagaimanapun Caranya

Pelatih Guinea soal Laga Lawan Indonesia: Harus Menang Bagaimanapun Caranya

Tren
8 Pencetak Gol Terbaik di Piala Asia U23 2024, Ada Dua dari Indonesia

8 Pencetak Gol Terbaik di Piala Asia U23 2024, Ada Dua dari Indonesia

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com