KOMPAS.com - Media sosial Twitter diramaikan dengan donasi pendidikan untuk Novi, anak tukang bubur yang ingin kuliah di Turki.
Hingga saat ini, Novi telah dibicarakan sebanyak 13,2 ribu dan menjadi salah satu topik populer di Twitter.
Namun, tak sedikit warganet yang mengkritik keputusan Novi tersebut.
Sebagian dari mereka menyoroti kampus tujuannya yang memiliki rangking di bawah kampus-kampus Indonesia.
Gue iseng search tentang universitas tujuan si Novi ini. Tau apa? Rankingnya JAUH dibawah universitas universitas di Indonesia. Jadi apa sebenernya pertimbangannya Novi ini buat kuliah di Turki? Really i dont get it pic.twitter.com/j11yIFS9Cm
— Ken (@alilastronaut) November 5, 2019
Mereka pun mempertanyakan tujuan Novi untuk kuliah di Turki.
Beberapa warganet juga menganggap bahwa masih banyak yang lebih berhak untuk mendapat donasi itu.
Menanggapi hal itu, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menganggap bahwa warganet harusnya mengarahkan.
Baca juga: Rumah Singgah Peduli Hanya Tarik Iuran Rp 5.000 dari Penderita Kanker, Donasi Jadi Tumpuan
"Sekolah itu niat baik, ke luar negeri itu membutuhkan keberanian dan tekat," kata Drajat kepada Kompas.com, Selasa (5/11/2019).
"Justru netizen harusnya mengarahkan dan memberitahu dia bahwa rangking universitas itu rendah. Ya wajar kan dia masih SMA. Apa dia berpikir sejauh itu," lanjutnya.
Menurutnya, orang-orang yang tahu tentang itu memiliki kewajiban untuk memberitahu Novi.
"Misal ada yang berkomentar tentang biaya kuliah yang mahal. Tapi di sana sebenarnya kan bisa gratis. Si anak ini kan enggak tahu bagaimana untuk mendapatkan gratis dan sebagainya. Makanya dia dibantu, diarahkan," ujar dia.
Menurut Drajat, apa yang terjadi di media sosial itu bersifat hyper realitas, yaitu realitas yang dibangun berdasarkan image.
Karena sifat hyper realitas itu, semua orang mempunyai hak untuk menilai Novi atau siapa saja yang tampil di media sosial.
"Karena masuk ke dalam dunia maya yang tidak ada batasnya, maka semua orang berhak mengadili, memberi komen," papar dia.
"Itulah yang disebut dengan emosi kolektif yang dibangun di dunia maya yang sifatnya begitu," sambungnya.
Drajat menyebutkan, diskurus tentang kebenaran di media sosial itu selalu beradu.
Oleh karena itu, pihak yang suka dan pihak yang menjelekkan akan selalu ada.
"Jadi di sinilah peraduan argumentasi itu diperlukan," tutup Drajat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.