KOMPAS.com - Istilah ghosting mungkin sedikit tak akrab di telinga kita. Tapi, kalau fenomena ditinggal waktu perasaan sedang sayang-sayangnya mungkin lebih kita ketahui.
Ya, fenomena ghosting kerap terjadi pada dua orang yang sedang memiliki hubungan romantis. Meski begitu, fenomena ini tidak hanya terbatas pada hubungan percintaan saja, pertemanan maupun relasi lainnya juga bisa mengalami hal ini.
Ghosting terjadi ketika salah satu dari kedua orang tersebut memutus semua jalur komunikasi tanpa memberikan penjelasan sebelumnya.
Tanda-tanda ghosting dapat dilihat apabila intensitas komunikasi menurun, banyak agenda yang dibatalkan, kebohongan-kebohongan, hingga menghilang secara perlahan maupun tiba-tiba.
Apabila hal-hal tersebut terjadi, mungkin Anda sedang menjadi korban ghosting.
Selain biasa dialami pada hubungan personal antara dua orang, fenomena ghosting juga seringkali terjadi pada hubungan bisnis.
Baca juga: Di-ghosting hingga Dirampok, Pengalaman Buruk Jalani Kencan Online
Lantas, apa yang menjadi alasan pendorong dari para pelaku ghosting?
Melansir dari laman livescience.com, perilaku ghosting sudah ada sejak munculnya interaksi antar-manusia.
Istilah ini berawal dari konteks dua orang yang berkencan. Meski begitu, ternyata fenomena ini juga dapat terjadi pada pertemanan dan menjadi populer pula dalam hubungan profesional.
Seorang Associate Proffesor Psikologi di Winthrop University Tara Collins, tidak banyak penelitian yang diterbitkan tentang ghosting.
Namun, menurut Collins, secara psikologi, ghosting adalah sebuah strategi yang umum digunakan untuk menyudahi hubungan, terutama di era digital ini.
Di era informasi, orang lebih mudah memulai hubungan. Untuk itu, menyudahinya pun juga demikian mudah.
Collins mengungkapkan tanpa adanya jaringan sosial yang sama antara dua orang, akan lebih mudah untuk menyudahi semuanya dan menghilang tanpa adanya konsekuensi-konsekuensi yang diperkirakan akan terjadi lebih lanjut.
Melansir dari huffpost.com, ghosting dinilai sebagai cara terburuk dalam mengakhiri hubungan. Seringkali, perilaku ini justru menimbulkan konfrontasi atau dampak negatif yang lebih besar setelahnya.
Pada beberapa orang yang menjadi korban "ditinggal pas lagi sayang-sayangnya", dapat menyebabkan perasaan tidak dihargai, tidak berguna, dan terbuang.