Dikutip dari Psychology Today, perasaan yang timbul tersebut berasosiasi dengan fenomena penolakan sosial yang dialami.
Penolakan sosial menimbulkan rasa sakit yang sama pada otak sebagai sebagai rasa sakit fisik.
Dalam hal hubungan antara penolakan dan rasa sakit, ada faktor-faktor spesifik dari ghosting yang dapat berkontribusi dan menyebabkan tekanan psikologis.
Baca juga: Facebook Dating, Fitur Kencan Pesaing Tinder Resmi Diluncurkan
Jadi, terlepas dari niat yang menjadi latar belakang perilaku ghosting, ia dapat meninggalkan luka dan trauma psikologis.
Ghosting seringkali berasosiasi dengan perasaan sakit dan persepsi-persepsi ditolak oleh publik. Oleh karena itu, untuk meminimalisir probabilitas munculnya perasaan-perasaan tersebut, korban harus tetap menjaga hubungan sosial dengan orang-orang.
Lingkungan sosial yang tetap terjalin dapat membantu mengontrol perilaku sebagai korban. Sebab, menjadi korban ghosting mungkin akan mengakibatkan ketidakteraturan emosional di luar kendali.
Otak selalu mengatur sebuah sistem pengawasan sosial yang menggunakan mood, orang, dan lingkungan sosial untuk melatih kita bagaimana merespons situasi.
Ketika mengalami ghosting, tidak ada pemutusan hubungan, korban akan mempertanyakan diri dan pilihan yang pada akhirnya menyabotase rasa menghargai diri dan kepercayaan diri.
Oleh karena itu, tetap berinteraksi dengan orang lain dengan mempertahankan lingkaran sosial adalah sebuah upaya untuk menghindari konsekuensi negatif tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.