Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Siap Mental Gunakan Media Sosial, Apa Potensi Risikonya?

Kompas.com - 13/10/2019, 14:01 WIB
Nur Rohmi Aida,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

Namun, jika respons yang diharapkan tak sesuai dengan keinginan, tak sedikit yang mengalami munculnya kecemasan.

“Ada pasien yang kepribadiannya histrionic (suka diperhatikan), narsistik (suka dipuji-puji), hingga mereka harus ngutang, cemas enggak ada yang like. Ada juga yang adiksi media sosial hingga sebentar-sebentar harus melihat medsos,” kata dia.

Menurut Dharmawan, candu atau adiksi media sosial adalah kondisi di mana seseorang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berinteraksi di media sosial dan sulit mengalihkan perhatiannya.

Dalam kehidupan nyata, kecanduan media sosial akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja, karena terus menerus memantau media sosial.

Jika hal itu tidak dilakukan, akan merasa cemas.

“Ada juga yang gara-gara dapat broadcast pendek-pendek dianggap kebenaran. Akibatnya dia merasa benar, hingga timbul konflik dalam keluarga sampai kemudian timbul distress dan disability pada dirinya,” kata Dharmawan.

Baca juga: Pengamat Ingatkan Risiko Terjadinya Perang karena Media Sosial

Dharmawan menyebutkan, sebagian besar pasien yang datang kepadanya dan mengeluh mengalami gangguan akibat media sosial, berusia 23-40 tahun.

Menurut Dharmawan, pada rentang usia ini, seseorang sedang bergulat dengan dirinya terkait awal karier dan membangun impian jangka panjang.

Oleh karena itu, ia mengingatkan, agar bijak dalam penggunaan media sosial.

Media sosial itu fungsinya untuk komunikasi, bukan untuk mainan. Dipakai komunikasi seperlunya, jangan nongkrongin medsos terus,” ujar dia.

Penanganan

Untuk penanganan orang-orang yang mengalami gangguan mental akibat medsos, menurut Dharmawan, tergantung kondisi pasien.

Penanganan tersebut bisa dengan obat, terapi elektrik maupun magnetik.

Ada pula teknik logo terapi. Metode teknik logo terapi ini dilakukan dengan mengajak pasien mencari makna mengenali hiperintension.

“Saat intensionnya berlebihan, dia cemas, lalu direfleksi, dan pelan-pelan diajak memaknai kejadiannya,” ujar Dharmawan.

Selain terapi-terapi di atas, banyak terapi lainnya seperti behavior dialectical teraphy, CBT, rational emotif, serta ada pula narasi psikodinamik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com