KOMPAS.com – Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, rencana amendemen UUD 1945 menilai wacana dan rencana amendemen UUD 1945 kurang relevan dengan permasalahan yang ada.
Hal ini disampaikannya menanggapi wacana amendemen yang mulai bergulir di parlemen.
Salah satu wacana yang mencuat adalah soal pemberlakuan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan proses pemilihan presiden dari langsung menjadi tidak langsung.
Terkait wacana mengembalikan pemilihan presiden menjadi tidak langsung, pada Agustus 2019, Bambang Soesatyo, yang kini menjadi Ketua MPR beralasan, hal ini perlu dipertimbangkan terkait penghematan anggaran.
"Kalau alasannya untuk menghemat anggaran, itu alasan yang kurang masuk akal. Sebenarnya dalam UU Pemilu, UU PKPU, itu kan sudah ada fasilitas negara untuk kampanye, misalnya debat calon presiden, baliho, kampanye, sudah ditentukan.” ujar Arya, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (8/10/2019).
Baca juga: Wacana Menghidupkan GBHN
Menurut dia, terkait hal itu, DPR memiliki kewenangan untuk mengawasi dan merevisi undang-undang jika memang biaya pemilu yang selama ini dikeluarkan negara dinilai sangat besar.
Caranya bukan justru mengubah cara pemilihannya.
“Yang harus dilakukan adalah bagaimana DPR membuat kebijakan yang membuat politik kita berbiaya murah. Misalnya dengan memperpendek masa kampanye," kata Arya.
Selain itu, upaya penerapan kembali GBHN seperti masa sebelum reformasi juga dinilai tidak tepat.
Apalagi, dengan alasan sistem pembangunan negara yang selalu berganti setiap terjadi pergantian presiden.
Baca juga: Pengembalian GBHN Dikhawatirkan Buat Demokrasi Mundur
Hal ini salah satunya pernah disampaikan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri pada Rapat Kerja Nasional PDI-P tahun 2016.
Megawati menyebut perlu adanya GBHN yang dikeluarkan oleh MPR untuk diikuti setiap kepala negara.
Namun, Arya menilai, pemberlakuan GBHN tidak memiliki relevansi dengan kondisi saat ini dan justru akan mengacaukan sistem yang sudah berjalan.
“Sebenarnya enggak ada relevansinya juga GBHN dihidupkan kembali, karena sudah ada UU tentang RPJP dan RPJMN, kan bisa merevisi UU itu tanpa harus menghidupkan kembali GBHN,” jelas Arya
“Kalau GBHN dihidupkan, itu akan mengacaukan arah pembangunan nasional kita, dan itu akan rumit sekali,” lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.