KOMPAS.com- Tiga orang dikabarkan meninggal dunia dalam kecelakaan tunggal mobil Suzuki APV nopol F 1196 DH di ruas jalan tol Jagorawi, KM 36+600 Sentul, Kabupaten Bogor, Minggu (15/9/2019).
Sebelumnya, pada Senin, 2 September 2019 juga terjadi kecelakaan beruntun di tol Purbaleunyi. Setidaknya 8 nyawa melayang akibat kecelakaan tersebut.
Saat dikonfirmasi kerapnya terjadi kecelakaan di jalan tol, peneliti Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno menekankan agar pemerintah menerapkan aturan secara ketat terkait batas kecepatan.
"Aturannya itu minimal 60 kilometer dan maksimal 100 kilometer. Aturan itu sudah diterapkan di ruas tol Mojokerto-Surabaya. Angka kecelakaan pun menurun di sana," kata Djoko sewaktu dihubungi Kompas.com, Minggu (15/9/2019).
Aturan tersebut sebenarnya sudah ada dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 111 Tahun 2015.
Dalam Permen itu disebutkan bahwa kecepatan paling rendah adalah 60 kilometer per jam dalam kondisi arus bebas dan paling tinggi 100 kilometer per jam untuk jalan bebas hambatan.
Menurutnya, aturan itu selama ini tidak ditaati karena kurangnya pengawasan.
"Kalau di Tol Mojokerto-Surabaya itu diawasi, kalau ketahuan langsung ditilang," ucap Djoko.
Baca juga: Berkaca Tabrakan Beruntun Tol Purbaleunyi, Begini Mengatasi Syok Setelah Kecelakaan
Pengukur Kecepatan
Cara mengawasinya, menurut Djoko, bisa dilakukan dengan alat pengukur kecepatan yang disebut dengan speed gun.
Terkait dengan konstruksi jalan tol, Djoko menyoroti tol-tol baru yang terbuat dari rigid pavement atau beton.
"Jalan tol yang baru ini kan terbuat dari rigid, jadi cepat panas. Itu akan berpengaruh terhadap kondisi ban," kata Djoko.
"Harusnya dilapisi aspal biar tidak terlalu panas," lanjutnya.
Meski demikian, jalan tol yang sudah beroperasi dapat dipastikan sudah lulus uji layak fungsi jalan tol yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Direktorat Jenderal Bina Marga dan Korlantas Polri.
Ia menyebutkan bahwa mayoritas kecelakaan di jalan tol lebih disebabkan oleh human error.