Peristiwa mirip dengan itu, ketika saya ikut dalam rombongan Ratu Beatrix dari Belanda, berkunjung ke Sulawesi Utara bulan Agustus 1995.
Ketika rombongan tiba di Woloan, seorang wartawan Belanda dalam bahasa Indonesia yang fasih bertanya pada saya, “Ini Desa Woloan, tempat upacara dan defile pasukan Permesta yang menyerah kepada Tentara Nasional Indonesia tahun 1961.”
Saya tanya dari mana dia tahu tentang hal ini, sang wartawan berkata, “Saya baca buku tulisan Barbara Sillars Harvey, berjudul Permesta: Half a rebellion atau Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (versi terjemahan Bahasa Indonesia terbitan PT Pustaka Utama Grafiti tahun 1989).”
Saya sangat kecewa, ketika datang ke Desa Woloan akhir Juli 2019 lalu dan bertemu dengan Sekretaris Desa, Jane M Kures. Perempuan muda ini bilang tidak tahu sama sekali tentang Permesta.
Wartawan Belanda itu juga pernah jumpa dengan saya, ketika saya bersama Kristin Samah (wartawati Suara Pembaharuan), Nasir Tamara (Republika), Erik (Media Indonesia), Suradi (Harian Angkatan Bersenjata), dan Jasmin Subali (RRI) diundang Pemerintah Belanda bertemu Ratu Beatrix dalam rangka persiapan kunjungan Ratu Beatrix ke Indonesia dari 21 sampai 30 Agustus 1995.
Wartawan Belanda yang namanya saya lupakan itu banyak membaca tentang budaya Minahasa. Para wartawan Indonesia yang diundang ke Belanda itu juga diberi kesempatan bertemu dengan Perdana Menteri (waktu itu), Wim Kok.
Hal yang paling saya ingat sampai sekarang, dalam pertemuan itu disinggung tentang keunikan perang Permesta. Dari Belanda ini saya menyimpulkan Permesta bisa juga jadi obyek wisata sejarah Sulawesi Utara atau Indonesia.
Setibanya di Manado dari Bali (tanggal 9 Agustus 2019), saya langsung mendatangi tempat-tempat bersejarah yang berkaitan dengan Permesta. Juga saya temui para pelaku yang langsung ikut dalam perang Permesta.
Saya jadi punya kesimpulan dan versi sendiri tentang sejarah Permesta. Saya mencatat ucapan spontan salah satu pelaku pemberontakan ini, Bena Tengker (85 tahun) yang saya temui di Manado.
“Biar lae kita so tua bagini, kalo ada yang cumu nyanda bae tentang Permesta di muka kita, kita langsung lap pa dia. Biar lae nanti kita kalah, mar kita mobage lebe dulu pa dia,” ujar Bena Tengker yang pangkal lengannya ditato tulisan Permesta 2 Maret 1957.
Dia bilang biar saya sudah tua kalo ada orang yang menjelek-jelekan Permesta di muka saya, saya mau pukul dia. Biar nantinya saya kalah, saya sudah pukul dia lebih dahulu.
Dari tanggal 10 sampai 13 Agustus 2019 lalu saya, saya berkeliling di wilayah kota dan desa di kaki Gunung Lokon, Gunung Soputan, Gunung Mahawu dan Gunung Kalabat. Saya datang ke Tomohon, karena kota ini sedang menyelenggarakan pesta pengucapan syukur.
Banyak peristiwa penting terjadi di kota ini selama perang Permesta. Sebelum pecah perang, antara akhir bulan Agustus sampai awal September 1957, Presiden Sukarno datang ke Sulawesi Utara.
Bung Karno saat itu juga datang ke Tomoho,n menghadiri acara hari ulang tahun ke 22 Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) di gedung Gereja Sion. Sebelumnya Bung Karno juga datang dan mengadakan acara tanya jawab dengan para mahasiswa Sekolah Tinggi Seminari Pineleng (tempat saya belajar pertengahan tahun 1970-an).
Dari Tomohon saya ke Desa atau Kampung Kakaskasen, sekitar empat kilo meter dari pusat kota Tomohon. Di Kampung Kakaskasen, saya menemui seorang wartawan berusia 80 tahun yang pernah menjadi seorang letnan intelijen Batalion I Permesta, Tarantula.
Namanya, Phill M Sulu penulis buku Permesta dalam Romantika, kemelut & Misteri - Menyikap Latar Belakang RPI dan Misteri Gugurnya J.F Warouw, diterbitkan pertamakali tahun 2011 oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Phil M Sulu bercerita tentang kesedihannya ketika menyaksikan kampung kelahirannya hancur lebur karena perang, sehingga kampungya disebut, “kampung maut”.
Ia juga bercerita kisah sengsaranya ketika “ditahan” di Dinoyo, Mojokerto, Jawa Timur, setelah para pemimpin Permesta menyerah tahun 1961.
Ia sempat menolak untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan tebu di Mojokerto. Tapi ia sempat jatuh cinta (cinlok atau cinta lokal) dengan seorang gadis di Mojokerto.
Phil M Sulut juga mencatat, para “pejuang “ tetap sempat menggelar tarian maengket dan katrili di hutan-hutan selama perang gerilya dari tahun 1958 sampai 1960.
Kata-kata salah seorang pemimpin Permesta, J.F Warouw (almarhum), nampaknya sangat berkesan di hati wartawan tua ini. “Orang Minahasa itu romantis dan advonturir”.
Saya juga datang ke Desa Taratara, tempat asal kakek atau opa saya, Johanes Tobias Ngenget. Desa ini adalah tempat markas pasukan Tarantula, nama salah satu batalion Permesta di bawah pimpinan Mayor Boy Potu.
Boy Potu adalah sebuah nama cukup tenar dan legendaris dalam perang Permesta. Ketika akan melintasi gapura Kampung Taratara III, saya berhenti dan mengamati sebuah rumah panggung tradisional Minahasa.
Rumah yang sudah rusak itu adalah tempat menginap salah seorang pimpinan Permesta Alex Kawilarang bila datang di Taratara (1958 - 1961).
Dari Taratara, saya ke kota Manado, ibukota Sulawesi Utara, menemui seorang perempuan berusia 80 tahun. Ia adalah Connie Waworuntu, salah seorang pendiri Pasukan Wanita Permesta (PWP).
Perempuan tua ini terkenal sebagai atlet yang pernah jadi juara lempar besi dan lari cepat di tingkat provinsi untuk lomba atletik lansia. Kini ia bekerja sebagai pemimpin sebuah yayasan yang mengurusi orang-orang lanjut usia.
Ketika saya bertanya kepada seorang pengurus rumah lansia di Manado itu, ia berkata “Ibu Connie sampai sekarang tetap kuat, sepatunya hak tinggi, dan beliau masih bisa memukul orang.”
Ketika berhadapan tokoh perempuan Permesta ini, saya punya kesan dia adalah perempuan intelektual lulusan SMA Negeri I Manado tahun akhir 1950-an. Sebelum bergerilya di hutan-hutan, ia bekerja di sebuah penerbitan koran di Manado.
Setelah kota Manado di bom oleh TNI Angkatan Udara Republik Indonesia pagi hari, 27 Frebuari 1958, Conni Waworuntu memimpin ratusan orang anggota pasukannya berjalan kaki siang dan malam dari Manado ke Minahasa Selatan, sekitar 200 kilometer.
“Yang menyedihkan bila persediaan makanan habis,” ujarnya..
Dari berbagai buku tentang Permesta dan wawancara banyak pihak saya punya versi sendiri tentang sejarah Permesta. Pemberontakan Permesta ini adalah bagian rentetan dari sejarah kemelut di Indonesia setelah Belanda mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949.
Kemelut yang disebut krisis daerah ini antaralain berujung di peristiwa 2 Maret 1957 di Makasar, ibukota Sulawesi saat itu (waktu itu seluruh Sulawesi masih satu propinsi).
Saat itu Panglima Tentara dan Teritorium VII (TT VII Wirabuana yang membawai wilayah Indonesia Timur), Letnan Kolonel HNV Sumual atau akrab dipanggil Vence Sumual di Makasar membacakan teks Proklamasi Piagam Perjuangan Semesta (Permesta).
Teks proklamasi Permesta ini ini antara lain berbunyi, “Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan Rakyat Daerah di Indonesia Bagian Timur pada khususnya, maka dengan ini dinyatakan seluruh wilayah Teritorium VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunya pemerintahan militer.......”.
Piagam Permesta ini ditandatangi 51 orang pejabat tinggi militer dan sipil Indonesia Timur (waktu itu Papua atau Irian Barat masih dikuasai Belanda).
Nama-nama terkenal dari penandatangan piagam ini antaralain, Andi Pangerang (gubernur Sulawesi saat itu), Mohammad Jusuf atau M Jusuf, J Latumahina, JE Tatengkeng, M Saleh Lahade, SH Ngantung, J Ottay, Andi Burhanuddin, Andi Mattalatta, dan seterusnya.
Tuntutan dari piagam ini antara lain adalah otonomi daerah seluas-luasnya. Pengumuman piagam ini disambut meriah masyarakat Sulawesi dan berbagai propinsi di Indonesia Timur saat itu.
Setelah itu, selama tahun 1957 terjadi pertemuan, perundingan dan kompromi antara tokoh-tokoh Permesta dengan para pejabat tinggi sipil dan militer dari pemerintahan pusat di Jakarta. Pertengahan tahun 1957, Vence Sumual diberhentikan dari jabatan panglima TT VII.
Wilayah militer di Sulawesi dipecah dua, yakni Komando Daerah Militer Selatan dan Tenggara (KDM-SST) dengan markas besanya di Makasar dan Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) bermarkas besar di Manado dengan panglimanya Letnan Kolonel Yus Somba (merangkap sebagai Gubernur Militer Permesta).
Beberapa minggu setelah dicanangkan Piagam Permesta, terjadilan perpecahan antara para tokoh Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Para penandatangan piagam Permesta dari Sulawesi Selatan dan propinsi lainnya di Indonesia lebih condong menolak pertikaian tajam dengan Jakarta.
Para tokoh dari Sulut, terutama Vence Sumual memindahkan markas Permesta ke Kinilow, sekitar 20 kilometer selatan Manado (di tepi jalan antara Manado - Tomohon).
Sumual melanjutkan perjuangan Permesta dengan mengadakan perjalanan ke berbagai wilayah di Jawa dan Sumatera. Terjadilah kesepakatan antara Sumual dengan para proklamator Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang beribukota di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Antara Permesta di Kinilow dan PRRI di Bukittinggi menjadi seiring sejalan. Dari suasana ini munculah nama PRRI/Permesta.